Senyum yang hilang

43 14 26
                                    

Peluh dingin menetes di kening Dean. Aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa menusuk hidungnya. Matanya tak lepas dari Renald, yang duduk di salah satu meja, mengamati setiap gerakan Dean dengan tatapan dingin yang menusuk. Renald. Sosok yang sangat Dean hindari, setiap lelaki itu datang ke sini.

"Dean," panggil Renald dengan suara yang datar, tanpa emosi.

Dean tersentak, jantungnya berdebar kencang. Gerakan nya yang sedang mengelap sebuah meja juga terhenti.

"Bang Renald?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.

Renald mengangguk, tatapannya tak berkedip. Dia dengan tenang, menyeruput secangkir kopi hangat.

"Gue ada perlu sama lo. Bisa kita bicara nanti?"

Dean merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya. Kenapa Renald tiba-tiba datang? Apa yang dia inginkan? Mengingat bagaimana kekejamannya terhadap para korban, dia jadi merasa takut untuk melawan.

Dengan penuh keraguan, Dean mengangguk menyetujui seseorang berbahaya ini.

"Oke," jawab Dean, suaranya nyaris tak terdengar. "Sebentar lagi jam kerja gue abis, kok. Bisa tunggu bentar?"

Renald mengangguk lagi, lalu kembali menatap Dean dengan tatapan yang tak terbaca. Dean berusaha bersikap tenang, tapi rasa takut terus merayap di hatinya. Kenapa Renald datang? Apa yang akan terjadi?

Udara malam terasa dingin, menusuk tulang. Dean duduk di bangku taman, tubuhnya menegang. Renald berdiri di sampingnya, asap rokok membumbung ke langit, mengaburkan wajahnya yang dingin dan tak berekspresi.

"Lo udah tahu, apa pura-pura enggak tahu?" tanya Renald, suaranya dingin, menusuk telinga Dean.

Jantung Dean berdebar kencang. Apa maksud pertanyaan Renald? Apa dia tahu sesuatu. Bahkan, Dean sedari tadi memikirkan cara supaya bisa melawan Renald jika dia bertindak.

"Maksudnya, Bang?" tanya Dean, berusaha keras agar suaranya terdengar tenang.

Renald membuang puntung rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya dengan kasar. "Gue gak mau munafik," ujarnya, suaranya masih datar. "Gue akui, gue jahat. Kata maaf enggak akan bisa membayar nyawa yang udah melayang."

Dean terdiam, bingung. Apa maksud kata-kata Renald? Dia seperti memberikan teka-teki yang tak terpecahkan. 

"Bang, gue gak ngerti," ucap Dean, suaranya nyaris tak terdengar.

Renald menatap Dean dengan mata tajam, "Gue tau, lo juga tau. Lo tau siapa gue, apa yang udah gue lakuin. Tapi lo diem aja, pura-pura gak tau!" sarkas Renald, nada nya tinggi satu oktaf.

Senyum miring mengembang di bibir Renald, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan tajam. "Semua yang terjadi cuman permulaan dari gue," ucapnya, suaranya dingin.

"Azaren, sebentar lagi bertindak bersama Myst Ariam." Kalimat itu seperti sambaran petir di siang bolong. Dean tercengang, otaknya berusaha mencerna makna di balik kata-kata Renald. Azaren? Myst Ariam?

Renald tak memberikan kesempatan Dean untuk bertanya. Dia berbalik dan melangkah pergi, menghilang di balik kerumunan orang yang lalu lalang.

Dean terpaku di tempatnya, tubuhnya gemetar. Rasa takut dan kebingungan menyergapnya. Otaknya berpikir keras, jika hal itu benar-benar terjadi.

"Gue engak bisa bayangin kalo mereka benar-benar memulai. Gimana cara melawannya?"

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tak kunjung menemukan jawaban. Dean merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Dia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi. Renald telah memberikan peringatan, dan dia tahu, Renald tak pernah berbohong.

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang