Pesan Terakhir

11 4 0
                                    

Detak waktu seakan melambat ketika dokter kembali memasuki ruang tunggu dengan ekspresi penuh penyesalan. Shanza merasakan jantungnya berdegup kencang, harapannya berkecamuk dalam dada. Namun, saat dokter menatapnya dengan penuh kesedihan, segalanya seolah runtuh dalam sekejap.

"Maaf, Shanza," kata dokter dengan suara yang berat. "Kami telah melakukan segala yang kami bisa. Dean tidak lagi bersama kita."

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, menghancurkan semua harapan yang tersisa di dalam diri Shanza.

Semua berubah begitu cepat. Beberapa jam yang lalu mereka tertawa bersama, saling bergenggam tangan di tengah sinar matahari yang hangat.

Namun kini, kebahagiaan itu terenggut begitu saja. "ENGGAK! ENGGAK! INI ENGGAK MUNGKIN!" teriaknya, suaranya membahana penuh kepanikan dan ketidakpercayaan.

"DEAN, ENGGAK! BANGUN, DEAN!"

Shanza berusaha berlari ke arah dokter, tapi lututnya terasa lemas, tubuhnya gemetar hebat. Ia terjatuh, merasakan lantai dingin yang menyentuh kulitnya, namun rasa sakit itu tak sebanding dengan apa yang menghantam hatinya.

"Dia gak boleh pergi lagi ... gak boleh ..." Suaranya berubah menjadi raungan putus asa, mencerminkan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Perjuangan untuk membangkitkan Dean, untuk mengembalikan segala yang telah hilang, seolah sia-sia.

Dokter, dengan rasa duka, mengeluarkan beberapa amplop dari sakunya dan meletakkannya di depan Shanza. "Ini untuk kamu dan orang-orang terdekatnya," katanya pelan.

Flashback

Dokter menatap Dean dengan pandangan penuh empati, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya menjelaskan dengan hati-hati. "Dean ... ada kerusakan saraf di tulang belakangmu. Kami sudah mencoba segala cara, tapi ... maafkan kami. Kemungkinan kamu tidak akan bisa berjalan lagi."

Dean merasakan kepedihan yang mendalam, seolah semua harapan yang tersisa dihancurkan begitu saja. Kesadaran itu menghantamnya seperti ombak besar, menghempaskan segala kekuatan yang ia miliki.

Dadanya sesak, napasnya terasa berat. Ia ingin menangis, tapi ia menahannya. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan ibu, pikirnya. Tapi rasa rapuh itu perlahan memenuhi seluruh hatinya, dan ia tak kuasa menahannya lebih lama. Maura melihat putranya berusaha menahan tangis.

Tanpa berkata-kata, ia menarik Dean ke dalam pelukannya, erat sekali, seolah dengan itu bisa menghapus semua kesakitan yang dirasakannya.

"Nak ... kamu harus kuat. Aku di sini bersamamu," bisiknya dengan lembut, meski dalam hatinya juga sedang berkecamuk perasaan yang tak kalah pedih.

Dean hanya bisa terdiam di pelukan ibunya. Dia benar-benar rapuh untuk saat ini.

"Gue berhasil buat Papa sayang gue lagi. Kak Azura kembali. Dan semua orang gak bakalan anggap gue pembunuh lagi. Gue berhasil ... tapi kenapa sekarang fisik gue yang cacat? Tuhan ... Inikah takdir darimu? "

Setelah beberapa saat terdiam dalam keheningan, Dean menarik napas dalam-dalam. "Dok," panggilnya dengan suara serak.

"Saya boleh minta kertas dan pulpen?" Dokter dan Maura terkejut mendengar permintaan yang tak terduga itu. Dokter menatap Maura, mencari kejelasan, tetapi ibunya hanya menggeleng pelan, tidak mengerti.

"Dean, buat apa, Nak?" tanya Maura dengan lembut, meski ada keheranan di balik pertanyaannya.Dean menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.

"Aku pengen tulis sesuatu, Ma. Sebentar saja, ya." Suaranya terdengar tenang, tapi ada kesungguhan yang dalam di matanya, seolah dia telah memutuskan sesuatu yang penting.

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang