Sisa sisa waktu

6 4 0
                                    

Moonlight School, yang dulunya menjadi salah satu sekolah bergengsi, kini resmi ditutup oleh pihak berwenang setelah penyelidikan panjang terkait berbagai kasus kriminal yang melibatkan murid dan pihak internalnya.

Pintu gerbang besar yang dulu menyambut siswa dengan megah, kini digembok rapat. Ruang-ruang kelas yang pernah dipenuhi suara canda tawa dan percakapan siswa kini sunyi, menyisakan debu dan kenangan yang tak lagi ingin diingat.

Plakat besar bertuliskan "Ditutup Sementara" tergantung di pagar depan sekolah. Namun, desas-desus beredar bahwa sekolah itu mungkin tidak akan dibuka kembali. Ada wacana dari pemerintah untuk menghancurkan gedung tersebut, mengingat sejarah kelam yang terjadi di dalamnya.

Beberapa penduduk sekitar bahkan mengusulkan agar lokasi sekolah diganti dengan taman umum, menghapus semua jejak dari masa lalu yang suram.

Bekas-bekas investigasi masih terlihat di beberapa bagian gedung, dengan garis polisi melingkari area yang dianggap sebagai lokasi kejahatan. Moonlight School tak lagi menjadi simbol kebanggaan, melainkan simbol dari tragedi yang menyisakan luka mendalam bagi banyak orang.

Shanza kini bersekolah di Sekolah Citra Harapan, sebuah tempat yang dikenal dengan pendekatan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung siswa-siswinya. Sekolah ini menawarkan program konseling untuk membantu mereka yang mengalami trauma, membuatnya terasa lebih aman dan nyaman bagi Shanza dan teman-temannya.

Meski jarak fisik memisahkan mereka, bayangan kelam masa lalu sekolah itu tetap menghantui pikirannya. Setiap kali melewati daerah sekitar, Shanza merasakan desakan emosi yang sulit dijelaskan—sekolah itu bukan hanya tempat belajar, tapi juga lokasi yang menyimpan begitu banyak rahasia kelam dan tragedi yang menyakitkan.

Dengan letaknya yang berada di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, Moonlight School pernah menjadi simbol eksklusivitas. Namun, kini jarak tersebut menjadi pengingat akan keterasingan dan kejahatan yang tersembunyi di balik tembok-tembok sekolah yang sepi itu.

Meski Shanza jarang lagi melintasi rute yang menuju ke sana, nama dan sejarah sekolah itu sulit dihapus dari ingatannya, terutama karena semua hal buruk yang pernah terjadi di sana.

Shanza berjalan menyusuri koridor sekolah barunya, dikelilingi oleh Alea, Reiga, dan Ardhan. Suasana terasa hangat, meski masih ada bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya. Mereka sudah berusaha untuk membangun kembali kehidupan mereka setelah segala yang terjadi.

Alea tiba-tiba saja nyeletuk, "Keadaan Nayyara sekarang gimana? Meskipun dulu dia jahat banget, tapi gue yakin sekarang dia pasti berubah."

Shanza menghela napas, mengingat semua yang telah terjadi. Nayyara, yang dulu menjadi bagian dari mereka, kini menjalani rehabilitasi setelah terlibat dalam berbagai tindakan kriminal. Shanza merasakan campur aduk di dalam hatinya.

“Gue berharap dia bisa menemukan jalan yang benar,” jawab Shanza, suaranya lembut. “Setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, kan?”

Reiga mengangguk, menambahkan, “Mungkin kita bisa bantu dia untuk beradaptasi kembali. Gimana kalau kita ajak dia bergabung di sini?”

Shanza tersenyum, merasa ada harapan baru. Ini adalah langkah kecil menuju perdamaian, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Nayyara. Jika mereka semua bisa saling memberi dukungan, mungkin masa depan bisa lebih cerah.

Saat jam istirahat, Shanza dan teman-temannya memutuskan untuk berkumpul di taman sekolah, berbicara tentang rencana ke depan. Mereka membahas bagaimana kehidupan setelah kejadian besar yang mereka alami, serta langkah-langkah untuk menjaga persahabatan mereka tetap kuat.

Di tengah percakapan, Ardhan menatap Shanza dengan sedikit ragu. “Gue kepikiran satu hal,” katanya, memecah keheningan.

“Apa?” Shanza mengangkat alis.

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang