Pengkhianatan tersembunyi

11 5 0
                                    

Algara berdiri dengan postur tegang, matanya tak lepas dari Dean yang terikat di kursi tua di depannya. Nafas Dean terengah, wajahnya menunjukkan rasa sakit dari tali yang mengekang pergelangan tangannya terlalu kuat. Di sekeliling mereka, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan.

Algara melangkah mendekat, senyum dinginnya menghiasi wajah. "Dean, pancing lo buat ke sini, mudah ya? Tinggal bilang Shanza terluka aja, lo langsung datang," ujarnya, suaranya terdengar seperti racun.

"Lo gak sadar dengan bahaya yang datang?"

Dean menatap Algara dengan pandangan bingung sekaligus takut. "Lepasin gue, Al ... Ini sakit, Al ... Gue gak sanggup lagi ...." rintih Dean, suaranya parau, penuh rasa sakit yang terpendam di balik kerapuhan tubuhnya.

Tapi Algara tidak menunjukkan tanda-tanda belas kasihan. Matanya menyorotkan kebencian yang mendalam. "Lo harus tahu kenapa lo ada di sini." Algara mengeluarkan selembar foto dari balik jaketnya, selembar foto lama yang sudah mulai menguning. Ia mengacungkannya ke depan, tepat di depan wajah Dean yang terlihat semakin pucat.

Dean terdiam sesaat saat menatap foto itu. "Mama? I-ini ... mama?" gumamnya dengan suara gemetar. Matanya terpaku pada sosok wanita di foto yang tak asing baginya. Wajah yang sangat ia kenal, sosok yang tak mungkin ia lupakan-ibunya, Maura. Meski foto itu sudah usang, wajah wanita di foto itu masih jelas, nyaris tak berubah dari sosok yang ada dalam ingatannya.

"Ini... siapa yang ada di samping Mama?"

Raut wajah Algara berubah dingin, penuh kebencian. "Ini yang bikin gue benci sama lo!" bentaknya dengan keras, sembari melempar foto itu tepat ke wajah Dean. Foto itu jatuh ke lantai, terbuka dan memperlihatkan lebih jelas gambar seorang pria yang berdiri di samping Maura.

Dean menatap foto yang kini tergeletak di lantai dengan kebingungan.

"Apa maksud lo, Al?"

Algara mendekat dengan tatapan tajam dan mengancam. "Lelaki di foto itu, Dean," ia menahan napas sejenak sebelum melanjutkan dengan nada getir, "Itu ayah kandung gue."

Dean membelalak kaget, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "A-apa?" ucapnya, suaranya bergetar. Dadanya sesak, seolah-olah jantungnya berhenti berdetak sejenak.

Algara tertawa sinis, melangkah mundur dengan tatapan penuh kemenangan. "Lo tahu rasanya dibohongi? Sakit kan dibohongin selama ini? Itu yang gue rasain, Dean. Waktu kecil gue, gue pikir Ayah gue cinta banget sama Bunda. Gue pikir hidup gue sempurna." Algara menggenggam kedua tangannya, menahan kemarahan yang siap meledak. "Sampai gue nemuin kotak itu. Ada surat-surat di dalamnya... surat dari Maura, buat Bram."

Dean merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Nama itu ... Bram. Ayah Algara. Fakta ini menghantamnya lebih keras daripada rasa sakit fisik yang ia rasakan dari ikatan di pergelangan tangannya. Kebenaran yang selama ini tersembunyi kini terungkap di hadapannya-dan itu menghancurkan segalanya.

"Apa ... apa yang lo inginkan, Al?" tanya Dean, suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan rasa takut dan kebingungan yang mendalam.Algara tersenyum dingin, lalu berbalik, berjalan pelan di sekitar ruangan. Ia tampak menikmati kehancuran batin yang kini jelas tergambar di wajah Dean.

"Lo masih gak ngerti, ya? Selama ini, hidup lo tenang, lo tumbuh dengan segala kenyamanan. Lo punya ibu yang lo cintai, lo punya segalanya. Tapi lo gak pernah tahu apa yang terjadi di balik itu semua.""

Algara berhenti tepat di belakang Dean, lalu menunduk dekat di telinganya. "Gue benci lo, Dean. Bukan cuma karena lo anak Maura, tapi karena lo anak yang seharusnya gak pernah ada."

Dean menelan ludah, rasa ngeri menjalari tulang punggungnya. "Gue emang gak seharusnya ada. Gue emang gak pantes buat hidup dan bahagia. Harusnya gue yang mati waktu itu,"

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang