Kecurigaan

24 8 1
                                    

Udara di ruangan itu terasa dingin. Dua orang tengah duduk berhadapan, menatap layar laptop yang menyala terang. Di layar itu, beberapa video terputar bergantian. Video-video itu menampilkan rekaman aktivitas seseorang, sebuah kejahatan.

"Dasar, pengkhianat! Gue gak bakalan biarin kalian khianati Dean!" geram lelaki itu, tangannya mengepal erat. Matanya menatap tajam layar laptop.

Di sebelahnya, seorang pria paruh bata tampak khawatir. Ia memperhatikan anak lelaki nya itu dengan tatapan iba. "Nak, cepat beritahu Dean sebelum terlambat. Beritahu Dean, bahwa ada yang mengkhianati nya diam-diam."

Lelaki itu menghela napas, matanya berkaca-kaca. "Memangnya Dean bakalan percaya sama Ardhan? Aku cuman takut, Yah. Aku takut Dean bakal kecewa, karena mereka sahabatnya."

Pria paruh baya itu mengusap lembut punggung anaknya, "Tidak, Ardhan. Dean pasti akan mengerti. Ayah tidak ingin mereka terjebak lebih jauh pada seseorang itu. Seseorang itu telah mempersiapkan sesuatu untuk mereka. Ingat, Ardhan. Kamu datang ke sini untuk membantu mereka keluar dari permainan itu!"

Ardhan terdiam, pikirannya dipenuhi keraguan. Ia tahu bahwa ia harus memberitahu Dean tentang pengkhianatan ini. Namun, ia takut akan reaksi Dean.
Ardhan memiliki kecurigaan yang kuat pada salah satu diantara mereka sejak awal.

"Yah, kalo ternyata Dean enggak percaya gimana?" tanya nya.

"Ardhan, kamu harus kuat. Kamu harus berani menghadapi kenyataan. Beritahu Dean, sebelum semuanya terlambat. Ardhan, dia adalah sahabat kecilmu. Sudah seharusnya kamu menolong mereka." ucap pengacara Aksa––Ayahnya Ardhan.

Lelaki itu mengangguk pelan. Ia tahu bahwa ia harus melakukan ini. Ia harus memberitahu Dean, meskipun ia takut akan konsekuensinya.

Ardhan beranjak dari duduknya dan mengambil sebuah flashdisk di laptop itu. Ia berjalan menuju pintunya. Ia akan menemui Dean dan memberitahunya tentang pengkhianatan ini. Ia harus memberitahu Dean, sebelum semuanya terlambat.

***

Matahari sore mulai meredup, menerobos celah jendela rumah sakit dan menyapa Shanza yang terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, keringat dingin menempel di dahinya. Luka tusukan di perutnya masih terasa perih.

"Kak Damian, lo beneran kakak kandung gue?" tanyanya lirih, suara serak karena menahan sakit. Di tangannya, kertas hasil tes DNA bergoyang pelan, seakan tak percaya dengan kenyataan yang tertera di atasnya.

Damian, lelaki yang selama ini dikenal sebagai kakak kelasnya, tersenyum lembut. "Iya, dek. Masih enggak percaya?"

Shanza menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. Aneh rasanya dipanggil adek oleh lelaki yang selama ini ia anggap sebagai kakak kelas nya saja. Namun, rasa aneh itu tergantikan oleh rasa syukur. Setidaknya, ia tak sendirian dalam menghadapi masa-masa sulit ini.

Bibir gadis itu tersungging senyuman, disertai tawa kecil. Merasa aneh sekaligus lucu akan panggilan baru Damian padanya.

"Ssh—" Rasa perih masih menjalar di perut Shanza.

"Eh! Kamu jangan ketawa dulu, luka perut kamu masih basah, dek!" Damian mengingatkan, raut wajahnya berubah khawatir.

"Gu–A-aku gapapa kok! Ayo kak, kita pulang!" seru nya, sambil beranjak diri untuk turun.

Damian yang melihat itu langsung memasang punggungnya. Mempersilahkan Shanza naik untuk digendong. Shanza berusaha menahan tawa, ia tak pernah digendong oleh Renald.

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang