Darah dan Abu

16 5 0
                                    

Di tengah kerusuhan dan kekacauan, Januar terkapar di tanah, tubuhnya lumpuh akibat tembakan polisi. Walaupun kesakitan dan darah memenuhi tubuhnya, ia tetap tertawa terbahak-bahak dengan kegilaan yang hampir menular. Ekspresi wajahnya menunjukkan kombinasi dari kepuasan ekstrem dan kemarahan yang mendalam, seolah-olah ia berada di luar batas kemanusiaan.

Di dalam kepalanya, Januar terus berbicara dengan bayangan yang hanya dia yang bisa lihat—bayangan Ananda. Keberadaannya yang lebih dari sekadar hidup atau mati menjadi manifestasi dari obsesinya yang tak terpuaskan.

"Sayang, tunggu aku. Aku pastikan ini tidak akan lama," Januar berujar dengan nada gila, seakan dia berbicara langsung kepada Ananda yang telah meninggal. Dalam dunia pikirannya yang terganggu, kehadiran Ananda adalah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup.

Januar tidak hanya sekadar pelanggar hukum; dia adalah contoh ekstrem dari gangguan psikologis. Gangguan kepribadian paranoid dan obsesi patologis telah mengubahnya menjadi sosok yang lebih mirip iblis dalam pikirannya sendiri. Trauma emosional dan kegilaan yang melanda dirinya telah melenyapkan batas antara realitas dan delusi.

Dengan ketidakmampuan untuk merasakan empati dan terjebak dalam kebencian yang mendalam, Januar telah menjadi bentuk kegelapan yang mengancam siapa pun yang berada di jalannya. Kegilaan dan obsesinya menjadikannya sosok yang tidak lagi memedulikan segala hal di sekelilingnya, hanya terfokus pada balas dendam dan pemenuhan obsesinya terhadap Ananda.

Saat dia akhirnya menyerah pada rasa sakitnya, matanya yang penuh dengan kebencian dan kemarahan tetap tertuju pada sesuatu yang hanya dia yang bisa lihat—sebuah gambaran Ananda yang telah ia imajinasikan sebagai satu-satunya alasan untuk semua tindakannya yang brutal.

***

Lorong rumah sakit itu terasa sunyi, meski ramai. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang tunggu, sebagian duduk diam dengan kepala tertunduk, sementara yang lain menangis pelan. Bau antiseptik terasa menyengat, semakin mempertegas kesan dingin dan kaku di udara. Di depan ruang ICU, sekelompok keluarga berdiri cemas. Suara mesin-mesin medis terdengar lebih sering. Keluarga Dean berkumpul, masing-masing tenggelam dalam perasaan tak menentu.

Juna, yang dulu sangat membenci Dean, kini berdiri di pojok ruangan dengan tangan gemetar. Matanya terus memandangi anaknya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, terhubung dengan berbagai alat medis. Tubuh Dean penuh dengan luka, lebam, dan bekas sayatan yang terlihat jelas di balik perban yang membalutnya.

Juna tak mampu menahan rasa bersalah yang menghantuinya. "Bagaimana mungkin … bagaimana mungkin aku bisa melakukan ini pada anakku?" gumamnya pelan.

Dulu, ia dengan lantang menyebut Dean sebagai pembunuh, mengusirnya dari rumah, dan tak pernah mengizinkan Maura—istri yang ia cintai—untuk menemui Dean. Kini, segala perbuatannya berbalik menghantui pikirannya. Matanya merah, berkilauan oleh air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

Maura, di sisi lain, duduk di samping ranjang Dean dengan tangan yang gemetar, memegang tangan anaknya yang dingin. Setiap tarikan napas Dean terasa seperti duri yang menancap di hatinya. Ia sesekali menatap suaminya, Juna, yang kini tenggelam dalam penyesalannya.

"Kalau saja aku tidak menyalahkannya, kalau saja kita memberinya kesempatan untuk menjelaskan ...," bisiknya. Tapi semuanya sudah terlambat.

Kenyataan bahwa Azura—orang yang selama ini dianggap sudah tiada—ternyata masih hidup, mengguncang Juna. Perasaan marah dan tak terima menyeruak di dalam dirinya. "Semua ini direncanakan … semua tragedi itu!" Teriak Juna tiba-tiba, mengepalkan tangan di depan dadanya. Ia merasa dikhianati oleh masa lalu, oleh orang-orang yang ia percaya, dan oleh dirinya sendiri yang pernah membenci anaknya.

Enigma of Damaged Love (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang