04

36 7 0
                                    

♡︎ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡︎

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Drian, panitia yang masih mengaduh kesakitan dan berjalan dengan kaki pincang itu membanting diri pada kursi yang disediakan khusus untuk panitia. Sakit di kakinya ini tidak main-main. Drian tidak tahu dengan kekuatan sebesar apa gadis tadi menginjaknya. Drian sampai membuka sepatu dan kaos kakinya, dan mendapati keempat dari lima jari kaki kanannya merah dan bengkak.

"Kaki lo kenapa, Ian? Digigit tawon?" Seorang teman Drian yang baru sampai di tenda menanyakan keadaannya.

"Apaan! Gue diinjak cewek!" Drian berseru kesal.

"Hah? Lo serius?"

"Iya, foreigner," jawab Drian sekenanya sambil mengipasi jari kakinya yang terasa panas.

Jawaban Drian tidak hanya mengejutkan orang yang ia ajak bicara, melainkan seluruh panitia yang ada di sana. Sebab, jangankan menginjak, tidak ada mahasiswa baru yan berani mengangkat kepala saat berbicara pada mereka.

"Emang ada foreigner di angkatan sekarang?" tanya seorang lain yang lebih tertarik dengan perkataan Drian perihal keberadaan mahasiswa asing di angkatan tahun ini.

"Tuh! yang pake kerudung putih," gerak dagu Drian mengarah pada seseorang di baris cukup belakang, terlihat dari tempat mereka berada.

Adalah seorang gadis dengan paras mencolok dibanding teman-teman seangkatannya. Gadis dengan paras khas wanita Timur Tengah; berkulit putih sedikit kemerahan, dengan hidung tinggi dan garis rahang yang tegas, dan jangan lupakan kedua bola mata berwarna lazuardi yang semakin mengkilap di bawah sinar matahari—terlihat semakin jelas ketika gadis itu menolehkan wajahnya ke arah mereka. Sungguh paras yang cantik dan begitu memanjakan mata, membuat siapa pun yang memandangnya terpesona.

Atas alasan itu pulalah, seorang yang sejak tadi diam dan tidak melakukan apa-apa rela mengangkat kamera di tangannya, membidiksebuah mahakarya yang begitu menarik perhatiannya meski dilihat sebatas dari balik lensa. Ia memotretnya, berkali-kali. Setiap gerak dalam detik yang berlalu itu melenggang diabadikannya dalam gulungan rol kamera. Entah berapa lama, sampai seseorang menegurnya.

"Tumben, katanya gak mau kerja." Suara Putra yang entah sejak kapan duduk di sampingnya membuat orang itu—Bastian—tersenyum dan menggeleng pelan.

Bastian tidak menjawab pertanyaan Putra, dan memilih kembali memotret objek menarik itu walaupun kini hanya terlihat punggungnya saja.

"Mau gue kenalin, gak?" Putra yang menyadari besarnya perhatian Bastian pada gadis itu menawarkan bantuan kecil pada temannya.

Persis seperti dugaan Putra, Bastian menggeleng pelan.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang