08

27 5 0
                                    

♡︎ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡︎

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

"Dih, orang ngomong fakta dibilang jelek-jelekin! Makannya, kalau punya fakta jangan jelek!" Balas Lail pedas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dih, orang ngomong fakta dibilang jelek-jelekin! Makannya, kalau punya fakta jangan jelek!" Balas Lail pedas.

***


Setelah menjalani kehidupan perkuliahan sebagai orang yang merdeka, semua mahasiswa baru harus kembali menjadi tawanan impostor dunia pendidikan hari ini. Adalah orang-orang feodal yang kembali memperlakukan mereka dengan semena-mena; merundung, memelonco mereka atas nama senioritas yang legal.

Diri ingin melawan. Raga sudah tak tahan. Namun, orang bilang ini sudah prosedurnya. Angkatan-angkatan terdahulu juga mengalaminya. Jadi, terima saja. Tidak perlu bertindak berlebihan. Sebagai mahasiswa baru, kita harus rela dirundung, rela direndahkan, rela dilecehkan. Tidak patut berbicara tentang kehormatan dsn kesetaraan. Bukan?

Mereka berbaris di persimpangan antara rumpun Sains dan Teknologi dengan Sosial Humaniora. Panitia memberi instruksi kepada seluruh Maba bahwa mereka akan berjalan bersama menuju fakultas, berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Ketegangan sangat terasa saat itu, tidak ada yang berani barang membuka suara suara. Tatapan tajam dari para panitia sudah cukup untuk membuat mereka menunduk dalam-dalam dengan kaki yang bergetar. Kecuali Harsa, tentu saja, yang alih-alih menunduk ketakutan sebagaimana teman seangkatannya, dagu Harsa tetap tegak. Memang mereka siapa? Toh sama-sama manusia, sama-sama pelajar, gelar S1 pun belum dapat. Kenapa Harsa harus memuja-muja seperti saja mereka adalah proklamator bangsa?

Bahkan, pada orang yang paling berjasa untuk mereka pun—orang tua, misalnya—Harsa tidak yakin semua dari temannya berprilaku demikian. Para Maba itu tampaknya lebih takut dan hormat pada senior mereka yang entah apa jasa yang diberikan daripada orang tua yang sudah susah payah, banting tulang, membesarkan dan menyekolahkan mereka. Pun, seharusnya para senior itu paham jika orang tua mereka saja masih bersabar dan memperlakukan anaknya dengan baik, lantas dirinya siapa hingga begitu berani bertingkah semena-mana?

Namun, agaknya kedua fakta itu tidak akan pernah didengar. Semua orang telah terlanjur terkungkung pada satu premis kuno jika itu sudah prosedur. Angkatan-angkatan terdahulu juga mengalaminya, jadi tidak perlu bertindak berlebihan.

"SEMUANYA LIHAT KE DEPAN!" Teriakan seorang panitia yang berdiri di depan barisan. Dia adalah Edwin, Koordinator Lapangan yang terlibat konfrontasi dengan Harsa di atas podium Sabtu Kemarin.

Sosok Edwin itu mencolok. Dia menjadi sosok paling pertama yang diingat oleh para Maba jika mereka harus mendeskripsikan seluruh kesewenang-wenangan yang dialami selama Ospek Jurusan selain Vanny; panitia perempuan di sebelahnya yang bersiap membuka suara.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang