18

10 3 0
                                    

  ♡︎ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡︎

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

"To the world you may be one person but to one person you may be the world

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"To the world you may be one person but to one person you may be the world."


***


Harsa mengusap surai Hana yang berbaring di pangkuannya, mengecup kening sang adik yang kini tertidur lelap buah petikan gitar yang menjadi pengantar tidurnya. Mata Hana terlihat sangat sembab, wajahnya terlihat begitu pucat. Hana pasti kelelahan.

Dari berbagai kebusukan dan kesewenang-wenangan penyelenggara ospek jurusannya, Harsa harus mengakui bahwa ia bersyukur Putra dan Ketua Prodi memberikan izin kepadanya untuk membersamai Hana selama tiga hari ke depan. Kendati demikian, hal itu tetap tidak menarik kesimpulan Harsa bahwa yang menyebabkan kondisi Hana semakin buruk tidak lain juga adalah mereka. Paling tidak, sistem busuk yang mereka ciptakan, dan pelihara.

Harsa tentu tidak berpikir pelanggaran dan kesewenang-wenangan yang masif terjadi itu adalah inisiatif pribadi, ini sistematis. Tidak mungkin Putra, atau Ketua Prodi jurusan tidak mengetahuinya. Minimal, mereka membiarkan dan ikut memberikan legitimasi untuk itu.

"Hana masih tidak banyak bicara. Ibu tidak bisa begitu saja menerka-nerka, tapi yang jelas ini memang ada hubungannya dengan lingkungan kampus yang tidak nyaman bagi dia. Hana mendapat banyak tekanan di sana."

Itulah perkataan psikiater Hana kepadanya pagi tadi. Harsa sepenuhnya membenarkan. Lingkungan kampusnya memang bermasalah, penuh feodalisme dan senioritas yang menakutkan. Jangankan Hana, Harsa juga tidak merasa jika lingkungan seperti itu adalah tempat yang baik untuk ia menempuh pendidikan. Bahkan untuk sekedar hidup saja, dunia kampusnya itu jauh dari kata layak.

Maka dari itu, Harsa menjadi orang pertama yang menentang keinginan Hana saat dia menyatakan keinginannya untuk berkuliah setelah menyelesaikan pendidikan penyetaraan tingkat menengah atas selama satu tahun terakhir. Namun, Hana bersikeras, bahkan itu kali pertama Hana menangis dan memohon pada Harsa agar mengabulkan permintaan sederhananya. Dan, Harsa sampai hati untuk menolak keinginan Hana yang sejatinya sangat sederhana.

Harsa tidak menyalahkan Hana. Tidak ada yang salah dari keinginan adiknya. Hana hanya ingin sekolah, dia ingin melanjutkan pendidikannya, apa yang salah dari itu?

Namun, Harsa juga tidak bisa menyalahkan keadaan. Siapa dia yang hanya sebatas manusia sampai berani menyoal Tuhan perihal keadilan akan takdir yang dijalaninya? Yang Harsa lakukan tidak lain adalah bersabar, dan berusaha menjalani semua hal sebaik dan semaksimal yang ia bisa.

Saat merasa adiknya sudah tertidur cukup lelap, Harsa pun beranjak. Harsa membenarkan posisi tidur Hana agar adiknya tidak merasa pegal saat ia terbangun nanti, meletakkan bantal tidur dalam posisi benar dan tidak lupa menyelimutinya dengan sehelai kain tebal. Harsa menutup jendela, sebentar lagi masuk waktu sore dan angin di luar sana bertiup sangat kencang. Harsa tidak ingin Hana merasa kedinginan.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang