25

10 2 0
                                    

♡ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡

 Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

 ***

 "It's okey, gue di belakang lo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 "It's okey, gue di belakang lo." Harsa meyakinkan Melati bahwa ia tidak akan pergi dan meninggalkannya di sendiri.

***

Belasan menit berlalu, tatapan Putra masih fokus pada seseorang yang duduk bersama banyak mahasiswa baru dalam satu lingkaran, yang berbicara akrab dengan mereka dan menjadi pusat perhatian semua orang. Putra kehilangan tatapan lembut dan wajah ramah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang, berubah menjadi tajam dan penuh dengan kebencian.

"Dia pasti jadi Ketua Angkatan mereka."

Suara Edwin memecah keheningan di sekitarnya. "Selain dipercaya semua orang, leadership-nya juga oke. Bukan gak mungkin dia bisa gantiin posisi lo di jurusan bahkan fakultas satu atau dua semester ke depan," sambung Edwin yang membuat tangan Putra mengepal semakin erat.

Edwin tersenyum kecil melihat bagaimana urat-urat leher Putra terlihat jelas akibat aramah yang ditahannya. Memang itu yang Edwin inginkan, memanas-manasi Putra hingga kesabarannya habis dan melakukan sesuatu yang seharusnya dia lakukan sejak awal.

Putra adalah seorang yang gila hormat, kuasa, dan haus akan validasi. Ia pasti tidak akan diam saja dan membiarkan seseorang menggeser posisinya sebagai orang yang paling disegani di seluruh prodi, bahkan fakultas. Namun, Edwin muak dengan gaya bertindak Putra yang menurutnya lemah dan selalu mengutamakan kebersihan. Putra tidak pernah mau berkotor tangan. Edwin sudah muak pada Harsa, ingin cepat melihatnya menderita.

"Urus aja urusan lo sendiri, Sialan." Putra melayangkan tatapan tajam padanya, kemudian meninggalkan tempat mereka tanpa tanggapan berarti.

Namun, Edwin tetap menatap kepergian Putra dengan wajah puas. Rencananya berhasil. Putra sudah dikuasai emosi. Tidak mungkin dia akan diam saja. Putra tidak mungkin membiarkan dirinya kalah. Dia pasti sudah merasa terancam saat ini. Cepat atau lambat, Putra pasti akan melakukan sesuatu. Atau mungkin ... sudah?

Entahlah.

Meski sudah berteman lama, Edwin tidak pernah bisa menebak apa yang ada di pikiran Putra sebenarnya. Dia terlalu cakap dalam bermain peran. Tidak menutup kemungkinan di balik sikapnya yang terlihat tenang dan lamban, dia akan atau sedang melakan sesuatu yang gila.

"SARAPAN SELESAI! SEMUANYA BARIS DI LAPANGAN! SEKARANG!" Edwin berteriak dengan pengeras suara yang sedari tadi ia genggam.

Teriakan yang menggema dari Koordinator Lapangan itu membuat para peserta mempercepat sarapan pagi mereka, kemudian segera berlari dan memenuhi area lapangan. Beberapa di antara mereka merasa lemas dan dalam kondisi tubuh yang kurang baik. Harsa salah satunya.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang