09

19 5 0
                                    

♡︎ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡︎

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

"Bagaimana orang yang mengaku berpendidikan bisa berprilaku tak ubahnya hewan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagaimana orang yang mengaku berpendidikan bisa berprilaku tak ubahnya hewan?"

***


"Setelah Istirahat, Teman-teman silahkan meninggalkan ruangan, ya. Tasnya jangan lupa dibawa. Kita akan ada sesi 'games' di luar ruangan. Selamat istirahat, Bung dan Nona! Terima kasih!"

Selain kebodohan, adalah benar jika salah satu penopang utama penindasan tidak lain adalah kemunafikan. Ketidakadilan dan kepura-puraan bagai dua sisi mata uang yang harus hidup berdampingan. Seorang—atau sekumpulan—penindas di saat yang sama adalah penipu. Mereka menipu dengan bermanis muka di depan orang demi meraup citra, lalu bertingkah seenaknya sendiri ketika sudah punya kuasa.

Suasana berubah total ketika kamera perekam mulai mati. Sebagai gambaran, kedua pewara yang sepanjang acara menebar senyum dan berbicara ramah itu kini balik menatap tajam. Hilang semua sikap dan pasang mata humanis mereka; menguap bersama dengan kehangatan palsu yang diusung sebelumnya. Ruangan yang nyaman berubah jadi mencekam. Seisi ruangan kembali tegang.

"WAKTU ISTIRAHAT DIPOTONG LIMA BELAS MENIT! 12.15, semua harus sudah ada di barisan!" Edwin mengambil alih jalannya kegiatan. Ia berteriak dari belakang sana dengan suara lantang.

Para mahasiswa baru pun berhamburan. Mereka berlomba-lomba untuk lebih dulu keluar ruangan tanpa koordinasi. Orang-orang berlari tak ubahnya seperti ingin menyelamatkan diri. Beberapa dari mereka mengaduh, yang lainnya berseru—meminta orang di depan untuk lebih mempercepat langkahnya. Kekanakan, pikir Harsa. Kenapa hanya untuk keluar sana mereka berebutan? Perilakunya tidak berbeda dengan siswa sekolah dasar.

Sedikit sekali di antara mereka yang bersedia mengalah. Harsa melihat tidak lebih dari lima orang yang masih berdiri tenang menanti pintu keluar cukup lenggang. Termasuk di antara mereka adalah dirinya, Hana, dan Laila.

"Kak, kenapa gak ada koordinasi? Ini lantai tiga, kalau ada yang jatuh di tangga gimana?" Lail bertanya pada pihak keamanan yang berada tidak jauh darinya.

"Dih, ngapain? Orang udah gede, masa gak bisa ngurus diri sendiri," balas Panitia itu tak peduli.

"Lah, kocak! Kalau gitu semua aturan yang kalian bikin juga gak harus kita ikutin, dong? Kan kita bisa ngatur diri sendiri. Giliran ngatur-ngatur urusan perpeloncoan paling depan, giliran urusan keselamatan Maba diem-diem aja." Lail membalikan kalimat kakak tingkatnya.

Namun, alih-alih marah sebagaimana biasanya, panitia perempuan itu malah tertawa.

"Kalau semua hal kita atur, kalian gak akan bisa have fun di sini." Dia sedikit mencondongkan tubuhnya pada Laila, tersenyum miring, kemudian berbisik. "Kayak lo sama Bastian kemarin."

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang