10

34 6 0
                                    

♡︎ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡︎

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

Harsa masih mengingat baik di mana tangan sang ibu mendarat di pipi kanannya, atau lutut dan kaki sang ayah yang entah berapa kali menendang perut dan punggungnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harsa masih mengingat baik di mana tangan sang ibu mendarat di pipi kanannya, atau lutut dan kaki sang ayah yang entah berapa kali menendang perut dan punggungnya.

***

Peristiwa kemarin benar-benar menjadi kenangan buruk bagi Hana. Di mana ia menyaksikan begitu banyak kekerasan dan kekejian, dilakukan oleh dan pada banyak orang, terjadi di satu tempat, di sebuah institusi pendidikan yang seyogyanya menjadi tempat paling berperadaban.

Hana bisa mengerti kenapa orang tuanya begitu kasar padanya dan Harsa. Ibunya yang tidak segan menampar mereka. Atau ayahnya tidak segan memukuli keduanya tanpa sedikit pun perasaan bersalah. Hana bisa paham. Mungkin saja, kehadiran dirinya dan Harsa hanya merepotkan mereka. Kehadiran Hana dan Harsa menambah beban saja, menambah tanggungan, membuat hidup mereka susah.

Namun, kakak-kakak tingkatnya kemarin tidak bisa membuat Hana paham. Kenapa mereka bertindak begitu kasar? Apa mereka membiayainya—para mahasiswa baru itu—kuliah? Atau memberikan mereka pakaian, rumah, dan makan? Lebih-lebih melahirkan dan membesarkan? 

Rasanya, tidak.

Lantas, kenapa mereka bisa begitu semena-mena? Memperlakukan orang asing dengan buruk? Jasa apa kiranya yang sudah diberikan? Bahkan mereka belum saling mengenal untuk waktu yang lama.

"Kak ..."

"Hm?" Harsa langsung menatap Hana ketika dia memanggilnya.

"Kalau kita gak kenal sama orang, nggak punya jasa apa-apa, nggak pernah kasih baik, apa boleh pukul mereka? Kayak panitia kemarin. Mereka gak pernah kasih kita makan, gak besarin kita, nggak kasih kita uang buat sekolah, tapi kenapa boleh mukul?" Hana menatapnya dengan tatapan mata yang utuh, murni bertanya. Tidak ada sedikit pun niat sarkas dari sorot matanya.

Harsa bisa saja terus terang dengan menjawab tidak. Namun, Harsa merasa ada yang janggal dari pertanyaan Hana. Darimana adiknya mendapat kesimpulan bahwa seorang yang sudah berjasa kepada orang lain lantas bisa memperlakukannya dengan semena-mena?

"Han, jahat sama orang lain itu gak boleh. Walaupun dia berjasa, baik sama kita, tapi kalau tiba-tiba mukulin ya tetap aja gak boleh." Harsa memberi adiknya pengertian. Namun, jawaban Harsa itu malah membuat Hana semakin terlihat kebingungan.

"Tapi kenapa Mama sama Papa dulu kasar?" balas Hana yang membuat Harsa sepenuhnya bungkam.

Ternyata itu yang membuat Hana mengambil kesimpulan. Ingatannya terhadap segala kenangan buruk mereka kembali. Peristiwa di kampus tadi pasti membuat Hana teringat lagi akan kekerasan serupa yang pernah mereka alami.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang