Jika dunia hadir dalam wujud manusia, maka bagi Harsa itu adalah Hana.
***
_________________________
/tw⚠️
- mature content (18+)
- bullying
- mental, physical, and sexual abuse
- harsh words
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kalau merasa diri sebagai pusat dunia, merasa kalau kita doang yang punya masalah, ya, susah. Setiap hari, kerjaan kita pasti ngeluh dan cuma bisa nyalah-nyalahin takdir."
***
"Kamu tahu, Hana? Satu hal yang paling menyakitkan buat kakak adalah lihat kamu terluka. Jadi, jangan luka, Kakak mohon. Itu rasanya jauh lebih sakit dari luka di tubuh Kakak sendiri. Kalau kamu sampai lakuin ini lagi, itu sama aja kamu nyakitin Kakak..."
Itulah pesan yang Harsa berharap Hana masih mengingatnya. Pesan yang hampir setiap hari selalu Harsa ulangi, dulu, di masa saat Hana kehilangan semangat hidupnya. Masa di mana Hana harus menghabiskan waktu menjelang remajanya di ruangan putih, di atas ranjang, dengan suntikan bius dan obat penenang. Masa di mana Hana begitu sering mencoba mengakhiri hidupnya. Harsa, selalu membisikkan pesan itu, setiap hati, tanpa kenal jemu.
"Oh, jadi kamu tuh bukan pacarnya Harsa?"
"Bukan lah! Tahu darimana sih, Mas?"
Percakapan dari suara-suara yang dikenalnya membangunkan Harsa dari lamunan. Harsa yang saat itu memilih duduk di teras rumah lantas menegakkan badan, ia melihat ke pagar. Di depan rumah Laila, dilihatnya sang tuan rumah yang sedang berbincang dengan pedagang kaki lima.
Harsa tersenyum kecil, entah dorongan dari mana ia membuka pintu pagar dan menghampiri keduanya. Mendengar Harsa membuka pintu pagar, kedua yang sedang berbincang itu pun terkejut.
"Ngomongin gue, ya?" Harsa datang sambil tertawa dan duduk di samping Laila.
"E-enggak! Dia tuh yang mulai!" Lail menyalahkan pedagang di depannya, dan yang disalahkan malah tertawa.
"Bakso, Sa ..." Ia menawari. Tampaknya, pedagang itu sudah akrab dengan Harsa. Selain usia mereka yang terlihat hampir sebaya, cara bicaranya pun menunjukan bahwa mereka sudah biasa bercengkrama.
"Boleh, bikinin satu," jawab Harsa.
"Sip!"
Suasana menjadi canggung saat itu, terutama antara Harsa dan Laila. Lebih tepatnya, Lail yang merasa canggung saat duduk di samping Harsa. Meski jarak duduk keduanya cukup jauh, pembicaraan yang sempat terjadi antara ia dengan pedagang tadi cukup untuk membuat Lail merasa malu dan khawatir Harsa berpikir yang tidak-tidak atas dirinya. Siapa tahu Harsa jadi berpikir jika Lail memang sering membicarakannya dengan sembarang orang di belakang.