26

12 2 0
                                    

♡ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ♡

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

"Orang tua kalian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Orang tua kalian ... mereka rela kerja keras, banting tulang sekolahin anaknya sampai di tahap ini supaya mereka bisa jadi orang yang terhormat! BUKAN DIHINA DAN DIINJAK-INJAK MARTABATNYA KAYAK GINI!" 


 ***

Tepat sebelum tengah hari, Harsa bersama kelompoknya sampai di pos ke delapan. Mereka bersama satu kelompok lain. Hal itu membuktikan pembagian waktu yang tidak merata di setiap pos dan kurangnya koordinasi dari panitia. Seharusnya, tidak pernah ada dua kelompok di pos yang sama karena jumlah pos yang ada sama dengan jumlah kelompoknya. Sudah, Harsa sudah tidak ingin memberi tanggapan untuk hal itu. Ia sudah kelewat lelah.

"Kalian tahu ini pos berapa?"

Pertanyaannya standar, persis dengan yang Harsa dapat saat acara Persami yang ia ikuti di sekolah. Tidak ada bedanya. Semua perkataan dan caci maki itu Harsa telan dengan wajah datar. Harsa memilih tidak banyak bicara agar mereka tidak diberi hukuman tambahan.

"Kasih bunga ini sama panitia di pos selanjutnya, tapi jangan bilang dari saya." Seorang panitia memberikan setangkai bunga kepada Harsa.

Harsa terdiam cukup lama sebelum ia balik menatap panitia di depannya dan bertanya

"Kenapa?"

"Apa?" Panitia itu terkisap. Baru kali ini ada yang berani menjawab perintahnya dengan pertanyaan. "Lo gak denger? Kasih aja sama panitia di pos depan! Gak usah banyak tanya!"

"Kalau panitia di depan nanya ini bunga dari siapa, terus kita harus jawab apa?" Harsa sudah mafhum dengan hal-hal seperti ini. Di pos depan nanti, jika ia mengiyakan saja perintah panitia ini, mereka pasti akan berakhir dipelonco lagi. Jadi, kenapa tidak sekalian saja ribut di sini?

"Ya ... bilang dari siapa, kek! Ribet banget! Intinya gak usah bilang dari kita!" Seorang panitia lain yang tersulut atas perdebatan Harsa dengan temannya pun ikut menyahut.

"Oh, kita harus bohong, gitu?" balasan Harsa semakin membuat kakak tingkatnya semakin naik darah.

Tubuh Harsa mundur selangkah ketika seorang panitia laki-laki mendorong bahunya, kemudian mencengkram kerah bajunya dengan kuat.

"Lo ngelawan kita, hah? Gak usah banyak tanya! Turutin aja!" Titah panitia itu kepadanya, tapi Harsa tidak bergeming dan tetap memberi wajah tanpa ekspresi.

"Kita mahasiswa 'kan? Kita dituntut untuk berpikir kritis dan melakukan suatu tindakan atas dasar yang rasional, bukan dididik menjadi feodal tak ubahnya budak yang menurut saja pada tuan tanah mereka.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang