23

9 2 0
                                    

♡ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Pukul lima sore, panitia memberikan sepotong roti tawar dan segelas air mineral pada mahasiswa baru sebagai pelepas rasa lapar dan dahaga mereka selama seharian. Tidak masuk akal? Tentu saja.

Tanpa mengesampingkan adab untuk selalu bersyukur dan tidak mencela makanan, apa yang dilakukan para panitia ini sungguh di luar batasan. Pertama, mereka sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk perkemahan. Kedua, mereka sudah membawa makanan sendiri! Jika katakanlah para panitia itu tak mau repot mengurusi, maka berikan saja makanan yang sudah mereka bawa dan biarkan mereka mengurus diri mereka sendiri. Ketiga, yang tidak masuk akal adalah diberikannya roti sebagai pereda rasa lapar. Itu tidak masuk akal bagi Laila.

Lail hidup di tanah Arab, roti dan gandum adalah bagian dari kesehariannya, sepotong roti sudah sangat mengenyangkan bagi Lail. Tapi, untuk orang indonesia yang makanan pokoknya adalah nasi, sepotong roti tentu tidak akan mencukupi kebutuhan harian mereka karena sistem pencernaan dan pengolahan tubuh belum teradaptasi. Tidak semua yang kuliah di sini hidup di lingkungan keluarga borjuis yang mengalami westernisasi bukan? Itu sangat-sangat konyol.

"Kenapa nggak dimakan?" Lail bertanya pada Hana yang tidak menyentuh roti miliknya sejak pertama roti itu tiba.

"Aku nggak laper. Lail mau?"

"Mana mungkin! Lo kan belum makan dari siang tadi. Makan Han, nanti malam belum tentu dikasih lagi," Lail membujuknya. Tidak mungkin Hana tidak merasa kelaparan. Ini sudah hampir setengah enam sore dan mereka tidak memakan apapun kecuali sarapan di rumah masing-masing sebelum berangkat, tadi pagi.

Hana tetap menggeleng kuat; tidak mau menyentuh makanan miliknya.

"Buat nanti malam aja kalau gitu." Hana memasukkan sepotong roti tawar dan segelas air mineral itu ke dalam tas ranselnya, kemudian berbaring di atas tenda dengan posisi memunggungi Laila.

Hal itu membuat Lail dilanda perasaan bingung sekaligus khawatir. Hana terlihat sangat pendiam dan tidak banyak bicara. Ya ... Hana memang bukan seorang yang ceria, hanya saja sikapnya saat ini lebih murung dibanding yang biasa Lail temui. Bahkan, dibandingkan dengan sebelum keberangkatan mereka, atau di bus tadi, kondisi Hana terlihat jauh lebih baik.

"Kalau Kak Harsa tanya aku, jawab aku lagi tidur, ya." Suara Hana yang serak dan parau semakin membuat Lail merasa khawatir.

"Lo sakit? Ke Unit Kesehatan, yuk, gue temenin," ajak Lail. Lail benar-benar takut terjadi sesuatu pada Hana. "Atau keluhan lo apa? Nanti biar gue yang mintain obat ke panitia," lanjutnya barangkali Hana tidak ingin keluar dari tenda.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang