20

20 2 0
                                    

♡ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!!

***

"Konsekuensi dari seseorang yang berjuang untuk menegakkan keadilan adalah diperlakukan tidak adil, Hana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Konsekuensi dari seseorang yang berjuang untuk menegakkan keadilan adalah diperlakukan tidak adil, Hana."


***


Pukul lima pagi, Harsa selesai mengemas barang yang akan dibawanya ke acra kemah tiga hari yang dilaksanakan oleh pihak kampus—lebih tepatnya panitia mabim jurusannya. Harsa tidak membawa begitu banyak barang, hanya beberapa helai pakaian, makanan, dan barang lain yang kiranya akan ia atau Hana perlukan selama perkemahan.

Jujur saja, antara senang dan tidak Harsa menyambut perkemahan ini. Di satu sisi, Harsa merasa senang sekaligus lega karena perpeloncoan di mabim ini akan segera berakhir. Namun, di sisi yang lain, Harsa merasa berat karena ia tahu dan banyak mendengar tentang seberapa kejam "malam keakraban" di tempat yang gila senioritas seperti itu. Lebih dari sekedar perpeloncoan biasa, banyak hal-hal mengerikan yang bukan mustahil terjadi di sana.

Saat Harsa keluar dari kamarnya, di saat yang sama pula pintu kamar Hana terbuka. Hana keluar dengan menyeret ransel berukuran cukup besar.

"Udah semua?" Harsa bertanya tanpa menyalahkan tindakan Hana.

Hana tidak menunggunya untuk menyiapkan barang apa yang akan ia dibawa saja, Harsa sudah merasa bersyukur. Itu berarti, Hana sudah cukup percaya diri pada kemampuannya untuk bisa memilah barang-barang apa saja yang akan ia bawa. Itu adalah hal positif. Harsa tidak akan meruntuhkan kepercayaan diri Hana yang susah payah dibangunnya hanya untuk sekedar efisiensi belaka.

Atas pertanyaan Harsa, Hana mengangguk samar.

"Udah," jawab Hana dengan suara yang nyaris tidak terdengar.

Hana masih merasa malu. Hana merasa bersalah atas apa yang ia katakan pada Harsa kemarin, itu sangat kasar dan pasti menyakitkan. Tapi sikap Harsa padanya masih tidak berubah, Harsa bahkan tisak sama sekali marah seperti saja perkataan Hana kemarin sudah ia lupakan. Harsa tetap memperlakukan Hana dengan baik.

"Ayo sarapan, tadi Kakak udah siapin makanan." Harsa membantu membawa ransel milik Hana, mengajak adiknya turun ke lantai bawah.

Namun, ajakannya dibalas Hana dengan tatapan heran dan kebingungan.

"Bukannya kita sarapan di kampus?"

Dua hari sebelumnya, Hana melihat pesan selebaran di ponsel Harsa mengenai kegiatan Makrab ini. Salah satunya adalah panitia yang akan menyediakan sarapan untuk mereka sebelum keberangkatan, jadi mahasiswa baru dihimbau untuk tidak sarapan di rumahnya masing-masing.

Bahagia, HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang