22. Kebencian dari Jauh

5 1 0
                                    

Setelah keluar dari restoran itu, Viana dan Ellie terus bergerak menuju bagian selatan kota, tempat desanya berada.

Viana harus menumpang bus dari pusat kota untuk sampai ke daerahnya yang sedikit terpencil. Butuh waktu sekitar satu setengah jam, dan mereka pun sampai di daerah paling ujung di Kota Lyge.

Setelah turun dari bus, Ellie sedikit bingung. "Kita sudah sampai?"

Viana terkekeh dan menggeleng. "Belum. Kita masih harus menaiki angkutan desa untuk sampai ke desa ibuku," ucap Viana sambil melihat sekeliling. "Lihat! Di sana sudah ada yang akan berangkat!"

Viana dan Ellie buru-buru mendekati mobil angkutan desa yang akan segera berangkat. Setelah naik, mobil sederhana itu pun maju meninggalkan terminal.

"Apa nama desanya?" tanya Ellie.

Viana menjawab, "Desa Atna."

"Uh, apakah sama terpencilnya seperti desaku?"

Viana mengingat-ingat. "Sepertinya hampir sama."

Ellie melihat ke luar jendela. "Berapa lama lagi kita akan sampai?"

"Mungkin sekitar setengah jam," jawab Viana.

Keduanya pun dengan santai menikmati pemandangan di jalan. Padi-padi hijau membentang, jajaran gunung biru yang jauh, langit cerah berawan putih yang lembut.

Setengah jam kemudian, keduanya turun di jalan persimpangan desa. Menurut ingatan Viana, lokasinya tidak jauh lagi dari sini. Jadi ia berjalan kaki dengan Ellie.

Ellie memandang ke kiri dan kanan. "Di mana kamu akan tinggal di desa ini?"

Viana dengan santainya mengangkat bahu.

Ellie terperangah karena syok. "Kamu belum punya tempat menginap?"

Viana terkekeh. "Jangan cemas, kita harus menemui seseorang terlebih dahulu."

Ellie tidak berkata lagi dan patuh mengikuti.

Beberapa menit kemudian, Viana berhenti di depan sebuah gubuk tua.

Ellie melihat Viana terus memandangi gubuk itu dengan ragu, seolah-olah sedang menggali ingatan yang terkubur terlalu lama di benaknya.

Ellie mendekati Viana. "Ada apa?"

Viana menggeleng, memejamkan matanya, dan menghela napas. "Ikutlah di belakangku."

Ellie tidak tahu apa yang akan dilakukan Viana, jadi dia dengan patuh mengikuti di belakang.

Dengan sedikit gugup, Viana mengetuk pintu gubuk tua itu.

Tok, tok!

Viana sudah mengulangi tiga kali, namun tidak ada jawaban.

Sesaat kemudian, Viana menjadi sedih dan putus asa. "Mungkinkah..." Dia sudah meninggal?

Tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka.

Muncul seorang nenek tua berambut ikal pendek berwarna putih dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya dipenuhi keriput, namun ekspresi wajahnya terlihat teduh.

Melihat penampilan ini, napas Viana sedikit tercekat. Matanya langsung sembab.

Nenek itu terlihat bingung melihat dua orang gadis di depan gubuknya. "Dengan siapa ini?"

Viana menurunkan maskernya, memperlihatkan seluruh wajahnya. Ia tersenyum lembut. "Putri dari Ariana dan Richard Harvey, Viana Harvey, datang kembali untuk mengunjungimu, Nenek Martha..."

Mendengar nama-nama itu disebutkan, nenek Martha langsung terkejut dan menjatuhkan tongkat penopangnya. Ia refleks hendak berlutut sambil gemetar. Untung saja, Viana langsung menopang dan menahannya.

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang