32. Jalan Kedua

3 1 0
                                    

Setelah memikirkan Ellie yang sudah bersama nenek Martha, Viana teringat. "Aku belum mengunjungi nenek Martha semenjak insiden kemarin. Setelah kita selesai dari rumah lama ibuku, bisakah kita pergi ke rumah nenek Martha?"

Alen langsung setuju. "Tentu saja," jawabnya ringan. "Kamu ingin pergi ke mana lagi? Aku akan mengantarmu."

Viana agak tidak bisa berkata-kata. "Komandan, kita berada di desa dekat perbatasan. Memangnya bisa ada apalagi di sini?"

Alen tertawa. "Hahaha, benar. Kalau begitu mari kita fokus pergi ke tempat tujuan mendiang ayahmu." Alen berkata sambil menghidupkan mesin mobilnya. "Setelah ini, kamu harus bangkit dan meniti jalan hidupmu yang baru."

Viana menoleh untuk melihat Alen yang berada di sampingnya.

Engkaulah yang memberiku harapan dalam kegelapan.

Mungkin saja, kau juga jalan hidupku yang baru, Alen.

Bibir Viana tanpa sadar tersenyum.

***

Lima belas menit kemudian, Alen dan Viana memasuki desa kelahiran ibunya. Mereka berhenti di tepi hutan. Terdapat jalan kecil menuju rumah ibunya sekaligus tempat Viana ditembak terakhir kali. Viana turun dengan perasaan campur aduk.

Sekarang masih siang hari, namun karena berada di hutan, suasana begitu teduh dan sunyi. Viana memimpin dan Alen berjalan di belakangnya, memasuki hutan. Area ini sudah lama tidak dihuni dan hanya ada rumah ibunya satu-satunya di sini. Semak-semak dan pepohonan tumbuh lebat tak terawat. Setelah berjalan sebentar, Viana sampai di sebuah rumah gubuk tua.

Rumah gubuk ini kecil, lusuh, tak terawat, dan hampir roboh. Ingatan Viana langsung melayang ke masa kecilnya saat ia berkunjung ke sini dan bermain bersama ibunya. Karena waktu itu Viana masih sangat kecil, dia tidak bisa mengingat begitu banyak. Tapi beberapa membekas begitu dalam di hatinya.

Viana melangkah ke depan pintu gubuk, membuka kuncinya, dan menempelkan tangannya sejenak. Setelah terdiam dan menarik napas, ia membuka pintunya perlahan. Tidak butuh banyak tenaga untuk mendorong pintu itu hingga terbuka. Debu-debu sedikit beterbangan dan menyerang hidungnya, membuatnya sedikit gatal dan bersin.

Namun kondisi ini masih dibilang cukup baik. Untungnya, nenek Martha sesekali merawat rumah kecil ini. Tapi, karena usianya semakin tua, dia tidak punya cukup tenaga untuk sering datang kemari dan bersih-bersih.

Alen mengikuti di belakangnya dengan tenang. "Apa yang kamu cari di sini?"

Viana melihat sekeliling. Sinar matahari menembus dari celah-celah atap yang sedikit longgar. Seisi rumah kecil ini menjadi cukup terang untuk dilihat. "Aku tidak tahu."

Alen mengerutkan kening. "Kamu datang jauh-jauh kemari namun tidak tahu apa yang ingin dicari?"

Alen hanya tahu Viana diperintah untuk datang kemari. Tapi untuk apa, Alen tidak tahu.

Viana mengangkat bahu. "Ayahku hanya menyuruhku untuk datang kemari. Aku belum tahu tujuan spesifik darinya."

Viana melihat sekeliling dengan serius. Dia berada dalam kondisi antara meneliti dan bernostalgia dengan masa lalu. Melihat kondisi barang-barang lusuh disini, entah sudah berapa kali Viana menghela napas.

Di rumah ini hanya terdapat satu kamar, dan itu hanya ditempati ibunya sendirian sebelum menikah dengan ayahnya. Jadi, secara otomatis Viana berjalan menuju kamar tidur ibunya.

Di dalam kamar yang kecil ini, hanya terdapat sebuah ranjang kayu, satu buah lemari kecil dan sebuah meja. Viana merasa emosinya sedikit melonjak ketika melihat kamar ibunya, jadi dia ingin duduk dan beristirahat sejenak. Tanpa sadar dia menuju ranjang kayu yang lusuh dan berdebu.

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang