12. Kata Fantastis di Pesta

2 1 0
                                    

Viana tersenyum mendengar kata-kata Rian. "Mungkin saja aku tidak bisa mengikutinya. Sekarang, aku hanyalah seorang gadis biasa yang hidup sebatang kara. Jangankan mengikuti pesta, hidup dengan baik saja sampai saat ini sudah cukup."

Alen tidak menjawab. Ingatan Viana masih belum pulih saat ini. Jika Viana ingat posisi dan statusnya di keluarga saat ini, mungkin ia tidak akan mau diajak Alen untuk datang ke pesta kecil seperti ini.

Tidak butuh waktu lama, Viana mendengar suara sayup-sayup keramaian di depan. Sebuah rumah yang terlihat paling besar dari semua deretan rumah yang dilaluinya nampak sangat terang dan hidup. Banyak orang berkerumun di depan rumah. Nampaknya, pesta itu diadakan di sana.

Viana dan Alen masuk ke halaman rumah besar itu. Alen selalu terlihat tenang sepanjang waktu, berbeda dengan Viana yang asyik melihat-lihat sekeliling.

Melihat ada dua orang baru yang datang, orang-orang yang berkerumun itu mengarahkan pandangan ke arah mereka. Suara-suara di sekitar sedikit berkurang. Seorang pria paruh baya dengan tubuh sedikit gemuk buru-buru mendatangi Alen.

"Selamat datang di rumah saya, Tuan Rian. Sebuah kehormatan Anda bisa berkunjung ke rumah kecil saya ini," sambut pria paruh baya itu hangat.

Viana melihat ke arah Rian, kemudian kembali melihat ke arah pria paruh baya itu. Kelihatannya, pria itu sangat menyanjung dan menghormati Rian.

"Apakah kamu pejabat daerah di tempat ini?" tanya Alen.

Pria itu mengangguk. "Benar, Tuan Rian."

Alen sudah biasa menyamarkan identitas di manapun ia berada jika diperlukan. Terutama ketika sedang menjalankan misi. Sikapnya tidak kaku sama sekali.

Pria itu melihat ke arah Viana. "Lalu Nona ini adalah..."

"Dia adalah Nona Viana," ucap Alen menjawab untuk Viana. "Dia adalah... calon istriku."

Mata Viana membulat. Apa yang dia katakan tadi?!

Calon istri?! Viana sangat terkejut sampai tidak bisa mengontrol ekspresinya.

Pria paruh baya yang menyambut Alen itu tersenyum senang mendengarnya. "Anda berdua sungguh serasi. Kalian adalah tamu kehormatan kami. Silakan masuk..."

Pria paruh baya itu masuk ke dalam dan dengan pribadi mengantarkan mereka berdua. Di sepanjang jalan, Alen dan Viana terus menjadi sorotan orang-orang. Viana mau tidak mau menjadi gugup ditambah terkejut dengan pernyataan Alen baru saja.

"Rian, apa yang kau katakan tadi?" bisik Viana sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Alen.

"Calon istriku," jawab Alen dengan tenang, kemudian melihat ke arah Viana. "Kenapa? Kamu tidak mau?"

Wajah Viana seketika memerah. "Bukan begitu, tapi..."

"Tidak masalah," potong Alen santai. "Siapa tahu itu akan menjadi kenyataan di masa depan, kan?"

Viana benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Alen memandang Viana dengan sedikit senyuman di bibirnya. Viana belum mengetahui identitasnya sendiri, tapi Alen sudah mengetahui semua tentang Viana. Gadis cantik nomor satu di ibu kota dari keluarga bangsawan Harvey. Kenapa dikatakan nomor satu? Karena selain cantik, dia juga dikenal sangat berbakat sehingga mampu mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga Harvey setelah kematian ayahnya.

Siapa pria di ibukota yang tidak tertarik dengan gadis cantik pemegang kekuasaan keluarga nomor 1 ini? Alen berani bertaruh, jika Viana masih berada di posisinya saat ini, sudah banyak pria yang datang melamarnya.

Tak lama, mereka sampai di kursi dan meja yang ditunjukkan oleh pria paruh baya itu. Tempat mereka duduk berada di barisan paling depan, dekat dengan meja sang pejabat daerah itu sendiri.

Karena ini adalah pesta makan malam, mejanya berbentuk bundar. Terdapat dua kursi di meja itu. Alen dan Viana duduk berhadapan.

Begitu pria paruh baya itu pergi, Alen berkata pada Viana. "Nama pejabat daerah itu adalah Brien Gerar. Dia berasal dari keluarga Gerar yang terkenal di daerah ini. Keluarga mereka memegang perbendaharaan di daerah ini. Kamu harus mengingatnya dengan baik."

Viana sedikit mengernyit. "Kenapa aku harus mengingatnya?"

Alen hanya tersenyum, tidak berkata apa pun lagi.

Mata Viana menyipit. Sungguh pria yang misterius!

Pesta pun dimulai. Pria paruh baya yang bernama Brien itu membuka acara dengan beberapa kata, lalu mempersilakan semua tamu untuk menikmati makanan dan minuman.

"Para tamu yang terhormat. Pada perayaan tahunan daerah ini, kami telah kedatangan sebuah tamu yang istimewa. Beliau adalah Tuan Rian, pejabat tinggi dari ibukota dengan calon istrinya, Nona Viana. Mari kita sambut mereka dengan hangat!"

Seluruh orang bersorak riuh, bertepuk tangan gembira. Alen pun berdiri dan memberikan senyum kepada semua orang. Viana mengikutinya dengan canggung. Setelah itu, mereka berdua duduk kembali dan semua orang menikmati pesta dengan gembira.

"Pejabat tinggi ibukota?" celetuk Viana.

Alen tanpa basa-basi langsung mengeluarkan sebuah lencana dari sakunya. Itu adalah tanda tingkatan sebuah jabatan di pemerintahan. Yang dipegangnya adalah lencana pejabat tingkat tiga, setara dengan kementerian.

Viana terkejut. "Kau adalah..."

"Bukan," potong Alen tahu apa yang akan dikatakan Viana. "Aku hanyalah seorang asisten pembantu di intelijen, kamu juga sudah tahu itu."

Seorang asisten pembantu saja tidak mungkin memiliki lencana pejabat tingkat tiga. Viana mengerutkan kening. "Jadi, itu..."

Alen sedikit merendahkan suaranya. "Tentu saja ini palsu," jawabnya dengan enteng. "Aku hanyalah seorang asisten, bagaimana mungkin aku punya lencana pejabat tingkat tiga seperti ini?"

Hal yang tidak diketahui Viana adalah, Alen memiliki lencana pejabatnya sendiri sebagai seorang komandan intelijen kerajaan. Lencana miliknya adalah pejabat tingkat dua, yang bahkan lebih tinggi dari semua jajaran kementerian. Selama Alen menunjukkan lencana ini saat memeriksa atau memutuskan kasus, tidak ada seorangpun yang bisa menghalanginya selain raja sendiri.

Namun saat ini Alen punya rencananya sendiri. Belum waktunya untuk membuka identitasnya.

Viana tidak repot-repot memikirkan bagaimana Alen mendapatkan tiruan itu melainkan dengan tajam bertanya, "Apakah kamu sedang menyelidiki kasus?"

"Tidak," jawab Alen tanpa melihat Viana. "Aku sedang mengajakmu makan malam di sini, apa kamu tidak melihatnya?"

Viana tampak tak percaya.

Alen terkekeh. "Itu benar, aku tidak berbohong padamu. Aku murni ingin mengajakmu jalan-jalan dan makan malam di pesta ini. Lihatlah," ucapnya sambil memotong seiris daging dan menaruhnya di piring Viana. "Makanlah, kau pasti lapar karena belum makan malam."

Viana tidak bertanya lagi. Ia sebenarnya tidak peduli dengan apa yang pria ini lakukan. Toh, semua itu bukanlah urusannya. Lebih baik ia menyamankan diri dan menikmati pestanya.

Alen melihat bahwa Viana cukup pandai memahami situasi seperti yang diharapkan. Viana tidak bertanya hal yang kurang perlu dan tidak seharusnya ditanyakan. Melihat ini, Alen menjadi sedikit senang.

Dia benar-benar berbeda dari gadis yang pernah ditemuinya. Viana sangat pandai membawa diri.

Tiba-tiba, ada seseorang menghampiri meja mereka. Itu adalah Brien, si pria paruh baya tadi. "Sebagai tuan rumah, saya belum sempat menyambut Anda secara pribadi dengan baik. Izinkan saya bersulang satu gelas minuman dengan Anda," ucapnya sopan dan hangat.

Alen tidak menolak dan mengangkat gelasnya. Gelas mereka sudah diisi dengan anggur. Viana juga mengangkat gelasnya.

Alen sedikit melirik Viana. "Dia tidak minum anggur, aku akan mewakilinya untuk bersulang denganmu."

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang