46. Berbagi Tugas

1 1 0
                                    

Sementara itu, di dalam gedung.

Setelah pertemuan dengan perwakilan desa dari korban bencana, apa yang didengar Steven dan Viana sangat mencurigakan. Mau tidak mau mereka harus menyelidiki lagi secara mendalam dari pemimpin daerah ini, yaitu gubernur Braden.

Di ruangan yang tertutup, hanya ada Steven, Viana, Braden, dan asistennya. Steven dan Braden duduk berhadapan, sementara Viana dan asisten Braden berdiri.

"Gubernur Braden, apa Anda tahu apa yang akan kami tanyakan?" tanya Steven langsung.

Braden mengerti dia tidak bisa lepas dari hal ini. Dia bersikap santai dan terbuka. "Saya benar-benar tidak mengorupsi bantuan bencana dari ibu kota."

Steven. "Lalu bagaimana bantuan yang seharusnya cukup menjadi kurang? Kami dari pusat sudah memberi sangat banyak. Bisakah Tuan Braden memberi kami penjelasan?"

Braden tidak membuang waktu dan langsung memberi perintah kepada asistennya. "Blake, bawakan berkas itu kemari."

Asisten pria bernama Blake itu mengangguk, kemudian pergi meninggalkan ruangan sejenak. Dia kembali membawa map berisi berkas.

"Ini, Tuan," ucap Blake menyerahkannya dengan sopan.

Braden membukanya kemudian memberikannya kepada Steven. "Ini adalah data serah terima bantuan bencana dari ibu kota. Di situ tertera semua pihak yang terlibat; mulai dari penyalur, jumlah dan jenis bantuan bencana, lalu penerima. Setelah bantuan itu saya terima, saya membuat berkas lain untuk pembagian bantuan bencana ke setiap desa yang menerima dan disetujui oleh setiap perwakilan desa. Di lembar tertera total jumlah bantuan bencana dan pembagiannya ke setiap daerah. Anda bisa mengeceknya. Seharusnya tidak ada kejanggalan sama sekali di sana."

Steven memeriksa berkas-berkas itu dengan teliti. Viana yang berdiri di belakangnya ikut melirik dan sedikit mencondongkan tubuhnya untuk melihat berkas yang diperiksa Steven.

Setelah diperiksa, memang tidak ada yang salah. Bantuan bencana disalurkan dengan baik kepada setiap warga desa.

Viana dan Steven mengerutkan kening secara bersamaan. Lalu, bagaimana korban-korban bencana itu bisa mengatakan bantuan yang mereka terima sangat kurang?

Viana berpikir dalam otaknya. Jika bukan Braden yang mengorupsinya, maka hanya ada dua kemungkinan; para perwakilan desa itu yang mengorupsinya atau memang bantuan bencana dari ibu kota tidak cukup sama sekali.

Steven menutup berkas itu dan meletakkannya kembali ke atas meja, menghela napas. "Jika bukan Anda, Tuan Braden, maka itu pasti kemungkinan lain."

Braden mengangguk dengan tenang. "Saya adalah pejabat daerah yang jujur. Saya tidak akan melakukan tindakan tercela seperti itu."

Viana memalingkan wajahnya ke ruangan yang mereka tempati, kemudian tatapannya jatuh ke pintu ruangan. Saat Blake keluar dan masuk tadi, pintunya tidak tertutup rapat. Viana bisa melihat ke luar ruangan yang sepi.

Omong-omong, melihat gedung yang digunakan untuk pertemuan ini, setengahnya dibiayai oleh Braden dan setengahnya lagi merupakan anggaran daerah. Gedung ini cukup bagus dan peralatan dalamnya cukup lengkap untuk digunakan dalam rapat atau pertemuan lainnya.

Jadi, sebagai gubernur daerah, Braden cukup kaya.

Tiba-tiba lamunan Viana terpecahkan saat Steven berdiri dari kursinya. "Kalau begitu kami pamit. Terima kasih telah menyelenggarakan pertemuan ini sehingga kami tahu situasi para korban secara langsung. Kami akan menghubungi Anda kembali jika ada sesuatu."

Braden segera mengangguk dan berjabat tangan dengan Steven. "Ini adalah tugas saya. Anda tidak perlu sungkan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin mengatasi dampak bencana ini."

Setelah berpamitan, Steven dan Viana keluar dari gedung dan hendak kembali ke rumah sewa. Braden secara murah hati menyuruh Blake mengantarkan mereka berdua dengan mobil pribadinya.

Setelah kembali ke halaman rumah, Steven melirik Viana yang berjalan dengan wajah menunduk. Meskipun setengah wajahnya ditutupi oleh masker, mata yang indah dengan bulu mata sedikit panjang melengkung itu tetap indah dipandang dari samping.

"Aku belum bertanya padamu, bagaimana menurutmu tentang pertemuan tadi? Kamu pasti punya spekulasimu sendiri, kan?" Steven memulai.

Viana tidak memandangnya. "Tentu saja."

"Kalau begitu, bolehkah aku tahu apa yang kamu pikirkan?"

Viana mengangkat wajahnya dan melihat Steven yang lebih tinggi darinya. "Kita akan membicarakannya nanti ketika semua orang berkumpul. Sekarang aku sedikit lelah."

Steven tidak memaksanya. "Baiklah, kalau begitu sampai jumpa nanti malam," balasnya lembut.

***

Viana sendirian di rumah sampai petang tiba.

Ada tiga rumah di kanan kirinya. Sebelah kiri dihuni Steven seorang, dan sebelah kanan dihuni oleh Alen, Dean, dan Mike. Viana sudah berkunjung ke rumah sebelah kanan, namun mereka bertiga tidak ada.

Mungkin mereka belum pulang karena sangat sibuk.

Menjelang petang hari, Viana mendengar suara langkah kaki di luar. Dia bergegas merapikan pakaiannya dan membuka pintu depan. Di halaman, Alen, Dean, dan Mike baru datang entah dari mana. Seluruh tubuh dan pakaian mereka kotor.

Viana tercengang dan bergegas menghampiri mereka di halaman. Mereka bertiga juga terkejut melihat Viana keluar rumah.

"Nona Alvina? Kamu sudah pulang?" tanya Mike yang sifatnya lebih hangat dari semuanya.

Viana mengangguk. "Benar. Kalian dari mana saja? Kenapa kalian kotor seperti itu?"

Dean mewakili menjawab, "Kami baru saja dari lokasi longsor. Komandan dan saya memeriksa penyebab longsor, sementara dokter Mike membantu tenaga medis untuk memeriksa korban bencana. Masih banyak tanah dan sedikit becek di sana, jadi semuanya kotor."

Viana mengerti. "Aku dan Steven sudah mengikuti pertemuan hari ini. Kami mendapat hasilnya."

"Itu bagus," jawab Dean dan Mike.

Viana ingin berkata sesuatu lagi, namun kondisi mereka saat ini sedang tidak nyaman dan lelah, jadi dengan bijak Viana tersenyum dan berkata, "Bersihkan diri kalian dulu lalu istirahat. Malam nanti, kita akan berkumpul untuk membahas apa yang kita temukan hari ini. Aku akan mengecek makan malam apakah sudah siap atau belum."

Mike dan Dean mengangguk, kemudian pergi ke tempat mereka masing-masing. Sementara Alen tetap diam di tempat, tidak bergerak dan menatap Viana.

Viana mengerutkan kening melihat Alen. "Alen, ada apa?"

Alen tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan tiba-tiba mendekat satu langkah di depan Viana.

Viana terkejut.

Alen lebih tinggi darinya. Jika Alen berdiri dekat di depannya, Viana yang ramping dan pendek akan ditutupi seluruhnya oleh Alen. Perasaan itu membuat Viana mundur selangkah tanpa sadar.

Tiba-tiba, senyuman Alen berubah menjadi seringai.

Viana merasa bulu kuduknya berdiri. "Alen! Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan!"

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang