38. Sakit

7 1 0
                                    


Ellie terdiam, tidak bisa langsung menjawab.

Viana tidak ingin memaksa, jadi dia dengan cepat berkata, "Jika kamu tidak ingin, maka tidak apa-apa. Kamu bisa pergi ke mana pun kamu mau."

"Maafkan aku. Jalanku ke depan akan sulit, berbahaya, dan penuh ketidakpastian. Aku tidak ingin menyeretmu. Cukup saja Alen bersamaku," ucap Viana lagi.

Ellie paham kesulitan Viana.

Jika dirinya memaksa untuk ikut dengan Viana, dia akan menjadi beban Viana.

Ellie tersenyum dengan tulus. "Tidak, Kak Viana. Aku sama sekali tidak keberatan."

Viana sedikit terkejut.

"Aku bahagia bisa tinggal di sini. Bersama nenek Martha, aku tidak kesepian lagi."

"Jangan khawatir, Kak. Aku akan merawat dan menjaga nenek. Beliau sudah seperti keluargaku sendiri."

Nenek Martha ikut tersenyum. "Benar, aku juga menyukai anak ini. Dia sangat telaten dan penyayang. Dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Kami akan menjaga dan merawat satu sama lain."

Mata Viana berkaca-kaca. Dia merasa sangat lega dan bahagia. Ia sangat menyayangi keduanya meski tidak memiliki hubungan darah.

Tanpa Ellie dan nenek Martha, Viana tidak akan bertahan sampai hari ini.

Viana terbawa emosi dan tanpa sadar merentangkan kedua tangan. Ellie dan nenek Martha menyambut, berpelukan bersama dengan penuh kasih.

"Jangan khawatir, aku akan menjaga kalian sebaik mungkin dari jauh. Kalian tidak akan menderita dan kekurangan lagi," ucap Viana bertekad.

Ellie mengelus punggung Viana. "Setelah engkau pergi, jangan lupa untuk kembali. Kami akan menunggumu di sini."

"Hm," Viana mengangguk, kemudian melepaskan pelukannya. Air matanya sudah berlinang, dan ia tersenyum haru.

Viana mundur selangkah dan sedikit membungkuk. "Terima kasih banyak sudah membantuku di masa-masa tersulitku. Tanpa kalian, Ellie dan Nenek, aku mungkin tidak akan bisa bertahan hingga hari ini."

"Aku, Viana Harvey, pasti akan membalas budi kalian berlipat ganda di masa depan. Tunggu aku kembali."

Ellie dan nenek Martha tersenyum dan mengangguk bersamaan.

Viana menoleh ke arah Alen yang sejak tadi berdiri di belakangnya.

Alen tersenyum lembut kepadanya. "Kita pergi sekarang?"

Viana mengangguk.

Alen meraih tangan Viana dan menggandengnya, kemudian menoleh ke arah Ellie dan nenek Martha. "Kami pergi dulu."

Ellie dan nenek Martha mengangguk. "Terima kasih, Tuan Alen."

Alen menjawab dengan senyuman, kemudian dengan lembut membawa Viana keluar.

Hari sudah menjelang malam, dan hujan masih turun rintik-rintik. Alen melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Viana. Sementara Ellie berlari ke dalam dan mengambilkan payung untuk mereka berdua.

"Kak Viana, rawat tubuhmu dengan baik," ucap Ellie mengingatkan untuk terakhir kali.

Viana mengangguk. "Baiklah, Ellie."

Ellie merasa sedih. Dia melambaikan tangan bersama nenek Martha di sampingnya.

Setelah Viana dan Alen masuk ke dalam mobil, mereka berdua bergerak meninggalkan Desa Atna.

***

Dalam perjalanan kembali ke markas, Viana jatuh merenung. Tubuhnya bersandar lembut di kursi penumpang. Sorot matanya tampak redup.

Hujan semakin deras di malam hari dan terus mengguyur mobil di jalan yang sepi. Hawa dingin mau tidak mau membuat Viana menggigil.

Viana sudah memakai jaket yang diberikan Alen, namun karena kondisinya sedang tidak fit, dia masih kedinginan.

Tiba-tiba mobil Alen berhenti sejenak di pinggir jalan. Untungnya, tidak ada larangan parkir karena jalan ini sangat sepi.

"Kamu kedinginan?" Alen memastikan setelah diam-diam memperhatikannya dari tadi.

Tanpa menunggu jawaban Viana, sebuah selimut lembut sudah menutupi tubuhnya. Viana menatap kosong ke arah Alen.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Alen mengencangkan jaket Viana.

Viana menarik erat selimut yang diberikan Alen. "Aku sedang memikirkan apa saja yang harus kulakukan setelah mengikutimu. Aku juga memikirkan kebutuhan nenek Martha dan Ellie. Jadi, aku berencana untuk menyisihkan gajiku untuk-"

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu," Alen memotong kekhawatiran Viana. "Aku yang akan mengaturnya."

Viana merasa tidak nyaman. "Tapi bagaimana bisa? Lebih baik kamu memotong gajiku setiap bulan dan mengirimkannya pada mereka."

"Viana," Alen berkata dengan suara yang dalam. "Jangan khawatir, serahkan saja mereka padaku. Aku akan mengurus mereka untukmu. Ini sudah tugasku."

Viana tertegun selama beberapa saat dan akhirnya menyerah.

Dia tidak tahu harus merasa bahagia atau tertekan. Tapi, dia masih sangat beruntung memiliki Alen yang peduli di sisinya. Tidak ada orang lain selain Alen saat ini yang peduli dengannya.

"Terima kasih, Alen," Viana tersenyum dan merasa tidak berdaya. "Sudah lama aku bertanya-tanya, kenapa kamu begitu baik padaku?"

Alen kembali melihat ke stir mobil. "Jawabannya masib sama."

Jawaban saat Viana meninggalkannya di desa sebelumnya.

Viana meringis. "Ya, Tuan Alen benar-benar pria terbaik di dunia."

Alen tanpa sadar tertawa kecil dan melanjutkan perjalanan lagi.

Viana menghela napas. Dia merasa sangat rileks setelah masalah nenek Martha dan Ellie teratasi. Namun, Viana mulai merasakan dingin yang mengigil. Kepalanya terasa berat dan pusing. Luka di dadanya yang terabaikan mulai berdenyut-denyut.

Viana juga merasa matanya semakin berat untuk terbuka. Sebelum menutup mata, dia bertanya pada Alen. "Alen, kapan kamu akan pergi ke Matna?"

Alen menjawab sambil tetap fokus ke jalan. "Mungkin dalam satu atau dua hari."

Viana merenung sejenak sambil menutup matanya perlahan. "Baguslah, kita harus cepat pergi ke sana, jangan menundanya lagi."

***

Mike sedang duduk di ruang depan markas. Dia merasa sedikit bosan. Malam larut dan hujan deras. Secangkir kopi cukup untuk menghangatkan tubuhnya.

Suasana sangat sepi. Sebagian orang di markas sudah beristirahat, kecuali mereka yang bekerja shift malam.

Saat kopi sudah habis dan dia berbalik untuk mencuci cangkir, Dean keluar dari ruang kerja Alen.

"Dean, di mana komandanmu?" tanya Mike.

Dean menggeleng. "Aku tidak tahu. Komandan tidak memberitahu apa pun sebelumnya."

Mike mengerutkan kening. "Ini sudah larut malam dan hujan deras, ada urusan apa dia pergi?"

Dean mengingat-ingat sejenak. "Komandan juga membawa nona Viana pergi."

Mike menghela napas, seolah-olah tidak terkejut. "Dalam kondisi seperti ini, aku hanya khawatir pada gadis itu."

Setelah Mike selesai bicara, tiba-tiba ada sorot mobil datang menembus jendela. Dean dan Mike langsung menoleh.

"Itu mobil komandan! Dia sudah pulang!" seru Dean berlari untuk membukakan pintu.

Mike mengikuti dengan tenang di belakangnya. Namun saat melihat keluar, yang dilihatnya adalah Alen turun dari mobil membawa seorang gadis berselimut jaket di pelukannya.

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang