28. Merawatmu

5 1 0
                                    


Viana berangsur-angsur tersadar dan membuka matanya yang berat. Dalam buram, dia melihat dua sosok menjulang tinggi di kedua sisi tempat tidurnya. Saat penglihatannya semakin jelas, ia bisa mengenali Alen, dan pria satunya lagi dia tidak tahu.

"Lihat, kan? Aku tidak berbohong padamu. Akhirnya dia bangun," ucap Mike.

Alen menatap Viana. "Bagaimana perasaanmu?"

Viana berkedip perlahan. "Alen..." ucapnya lemah dan serak.

Alen dan Mike refleks mencarikan segelas air untuk Viana. Namun Alen lebih cepat. Dia sudah menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Viana. Mike hanya bisa tersenyum tak berdaya. Kebetulan juga teko air berada di meja dekat Alen, bukan di sisinya.

"Apa kamu bisa bangun?" tanya Alen lembut hendak memberikan air.

Viana terdiam sejenak, tidak yakin apakah ia bisa bangun.

Melihat respon Viana, Alen mengerti dan duduk di tepi tempat tidur, lalu mengulurkan tangannya dan mengangkat tubuh bagian atas Viana dengan lembut.

Begitu tubuh Viana digerakkan, ia langsung merasakan sakit yang tajam dan memekik serak. "Akh!"

Itu terasa sangat sakit. Ketika ia baru saja sadar, ia belum merasakan apa-apa. Namun ketika dipaksa untuk bangun dari posisi berbaring, luka di dadanya sedikit tertarik walaupun dengan gerakan lembut.

Viana menenangkan dirinya dan menghembuskan napas pelan. Dahinya langsung bermunculan keringat dingin. Bahkan ketika dadanya naik turun untuk bernapas, itu terasa sakit.

Alen melihat semua itu dan bergerak sangat pelan, menyandarkan tubuh Viana di dadanya dan kepala Viana bersandar pada bahunya. "Maafkan aku, aku sudah berusaha sangat pelan."

Seharusnya Viana menggunakan ranjang rumah sakit khusus yang bisa dinaik-turunkan bagian atasnya. Namun, di markas rahasia ini tidak ada. Hanya ada ranjang tidur biasa yang tidak terlalu nyaman.

"Aku akan meminta orang untuk mengganti tempat tidurmu nanti," tambah Alen, kemudian mendekatkan gelasnya ke bibir Viana. Viana minum perlahan dibantu dengan Alen.

Setelah selesai minum, Viana mulai merasa lebih baik. Ia melihat sekeliling. "Di mana aku?"

"Di markas rahasia," jawab Alen terus terang.

Viana terkejut. "Markas rahasia? Tapi... aku adalah orang luar."

Hanya anggota intelijen saja yang boleh masuk ke markas rahasia intelijen. Viana bukan anggota mereka.

Alen tersenyum. "Kalau begitu selamat, kamu adalah orang luar dengan kasus khusus."

Viana mengangkat alisnya. "Apa kamu tidak takut aku akan membocorkan sesuatu tentang markas rahasia ini?"

Alen terkekeh. "Silakan. Kamu bisa mencobanya."

Alen berkata sangat santai seperti menyuruh Viana mencoba makanan.

Namun Viana tidak sebodoh itu. Ia tahu seberapa luar biasanya intelijen kerajaan. Mereka sangat menjaga keamanan dan kerahasiaan. Jika Viana ingin melakukan sesuatu yang membahayakan kerahasiaan intelijen, ia tidak akan lolos dari sini saat ini juga.

Lagipula, Alen adalah penyelamatnya. Ia berhutang budi pada Alen. Viana tidak ingin mengkhianatinya.

Alen tidak membahas hal itu lagi dan memberi perintah kepada Mike. "Panggil seseorang untuk membawakan bubur dari dapur."

Mike mengangguk dan memanggil seseorang di luar pintu untuk membawakan semangkuk bubur, lalu kembali lagi ke dalam ruangan.

Viana melihat pria itu dan belum mengenalnya, jadi dia bertanya pada Alen. "Siapa dia?"

Mike langsung menjawab walaupun Viana bertanya kepada Alen. "Halo, namaku Mike. Salam kenal!" sapanya ceria.

Viana memaksakan senyum. "Salam kenal juga, Tuan Mike," jawabnya sopan.

Pria bernama Mike ini memakai jas putih dokter. Sosoknya tinggi dan tampan. Kacamatanya berbingkai tipis dan bibirnya tersenyum. Keseluruhan, Mike terlihat hangat dan mudah didekati. Sangat berkebalikan dengan Alen yang tegas dan mendominasi.

"Panggil saja dengan namaku. Tidak perlu sopan," balas Mike santai. Kemudian melihat posisi Viana yang sedang bersandar pada Alen. Dia tersenyum. "Anda benar-benar sangat dekat dengan komandan kami."

Viana tertegun, hendak bangkit dari posisi bersandarnya pada Alen. Namun Alen langsung menahannya. "Tidak apa-apa. Jangan bergerak. Atau lukamu akan tertarik lagi nanti."

Viana tanpa daya bersandar sepenuhnya pada Alen. Alen lebih tinggi darinya, dan Viana yang bersandar sangat pas di depan tubuhnya. Viana saat ini masih sangat lemah dan kekurangan energi. Jadi dia tidak punya pilihan selain memanfaatkan Alen.

Viana melihat kembali ke arah Mike. "Apakah Anda seorang dokter yang telah merawat saya?"

Mike mengangguk. "Benar."

Viana tersenyum dan berkata dengan tulus. "Terima kasih banyak telah merawatku selama beberapa hari ini."

Mike tertawa ringan dan menggeleng. "Tidak perlu berterima kasih. Ini adalah tugasku. Aku hanyalah bawahan Tuan Alen, seorang dokter militer di organisasi intelijen kerajaan. Berterima kasihlah padanya karena telah menyelamatkanmu tepat waktu dan membawamu kemari."

Viana tanpa sadar langsung mendongak melihat wajah Alen. Namun Alen seperti biasanya, minim ekspresi. Viana juga merasa canggung untuk langsung mengungkapkan terima kasihnya pada Alen di depan Mike saat ini.

Beberapa saat kemudian, bubur yang dipesan oleh Alen datang. Mike membantu membawanya dan menyerahkan bubur itu kepada Alen.

"Nikmatilah waktu kalian. Aku akan pergi ke ruang sebelah. Panggil aku jika kamu butuh sesuatu," ucap Mike peka, kemudian pergi meninggalkan ruangan.

Sekarang hanya Alen dan Viana di dalam ruangan. Posisi mereka berdua juga masih sama seperti tadi.

Alen sedang memegang mangkuk bubur dan ingin menyerahkannya pada Viana. Tapi, Alen ragu. "Apa kamu bisa makan sendiri?"

Viana langsung mengulurkan tangannya untuk menerima mangkuk bubur. "Kenapa aku tidak bisa?"

Saat mangkuk bubur itu dipegang oleh kedua tangannya, mangkuk itu bergetar. Dada kiri dekat bahu Viana terluka dan itu mempengaruhi seluruh tangan kirinya. Tidak hanya terasa sakit dan sulit digerakkan, namun juga tidak bisa menahan berat mangkuk bubur.

Jika Alen tidak cepat-cepat menopangnya, mangkuk itu akan terjatuh sebentar lagi.

Alen menghela napas dan berkata perlahan. "Aku akan menyuapimu. Patuhlah dan tetap pada posisi seperti ini."

Viana tidak punya pilihan lain kembali bersandar pada Alen. Alen dengan mudah menyuapinya sesendok demi sesendok dengan perlahan dan penuh perhatian.

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang