23. Bahaya yang Mendekat

1 1 0
                                    

Di perjalanan, Dean tiba-tiba mendapat kabar dari markas cabang.

"Komandan, ada kabar dari markas rahasia Kota Lyge."

Alen bertanya tanpa melirik. "Kabar apa?"

Dean membaca. "Nona Viana ditemukan di daerah Kota Lyge hari ini."

Alen tanpa sadar mengerutkan kening. "Kenapa dia ada di sana?"

Dean menggeleng. Tidak ada yang tahu tujuan Viana datang ke sana.

Alen menghela napas dan memberi perintah kepada Dean. "Cari tahu."

Dokter Mike yang diam-diam menyimak sejak tadi tersenyum. "Tuan Alen jarang sekali memperdulikan orang, apalagi seorang wanita. Siapa kali ini yang berhasil merebut perhatianmu sampai kamu ingin mengikutinya?"

Alen menjawab dengan malas. "Bukan urusanmu."

Mike menyeringai lalu mengambil posisi bersandar pada jok mobilnya. "Viana... Viana... Sepertinya nama ini tidak asing, seolah-olah aku pernah mendengarnya sebelumnya."

Alen berkata dengan datar. "Ada banyak nama Viana di dunia ini. Nama yang kamu dengar belum tentu orang yang kamu pikirkan."

Mike tidak menggubris. "Di ibu kota, bukankah ada seorang gadis yang terkenal itu? Namanya Viana, dia berasal dari keluarga Harvey."

Alen mengerutkan kening. "Dia sudah mati setengah tahun yang lalu. Kamu juga berada di ibu kota selama ini. Tidak mungkin kamu tidak tahu berita itu."

Mike mengangkat bahu. "Siapa tahu..."

"Jangan menebak sembarangan," potong Alen tidak senang. "Bukan Viana itu yang kumaksud."

Mike pun tersenyum. "Baiklah-baiklah, aku tidak akan membahasnya lagi. Cepat atau lambat, aku pasti akan mengetahui siapa gadis yang bisa merebut perhatian Komandan kita ini."

Alen hanya diam.

***

Menjelang siang hari di Desa Atna...

"Begitulah, Nek. Aku sudah menceritakan semuanya sepanjang malam. Kondisiku kurang lebih seperti itu," ucap Viana duduk di kursi rendah.

Mata Nenek Martha sembab dengan air mata. "Siapa di keluarga Harvey yang berani melakukan semua ini, Nak? Putri Viana kecilku sungguh menderita," ucapnya sambil membelai kepala Viana.

Nenek Martha adalah tetangga dekat yang sangat baik pada mendiang ibunya dulu. Saat Viana kecil, nenek Martha sangat menyayanginya seperti putrinya sendiri. Nenek Martha sering membuatkan kue, pakaian, dan buah-buahan saat Viana berkunjung ke desa. Nenek Martha sudah lama menjadi janda ketika masih berumur paruh baya. Ia selalu hidup sendirian.

Viana menggeleng dan tersenyum menjawab pertanyaan nenek Martha. "Viana belum bisa membuat dugaan pasti, Nek. Viana juga belum punya bukti yang kuat untuk menangkap pelaku. Sekarang, kondisiku lemah dan tidak memiliki dukungan siapapun. Jika identitasku terungkap saat ini, mereka pasti akan membunuhku lagi."

Nenek Martha terlihat marah dan protektif. "Tinggallah di sini mulai sekarang, Nak. Desa ini terpencil. Mereka tidak akan menemukanmu di sini. Kamu bisa tinggal dengan aman."

Viana tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, mulai sekarang aku akan menemani Nenek."

Ellie, yang sejak pagi sibuk di dapur, tiba-tiba muncul. "Nenek, Kak Viana. Makanan sudah siap. Ayo makan bersama."

Viana mengangguk dan membantu nenek Martha berdiri, lalu mereka makan bertiga di ruang kecil.

Di sela-sela makan, tiba-tiba Viana bertanya. "Nenek, apakah rumah ibuku masih ada sekarang?"

Viana sudah meninggalkan desa ini sangat lama. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan rumah mendiang ibunya.

Nenek Martha menjawab, "Tentu saja masih ada. Nenek terkadang merawatnya. Apa kamu ingin pergi ke sana?"

Viana mengangguk. "Benar. Sebelum ayah meninggal, dia berpesan padaku untuk berkunjung ke rumah peninggalan ibu. Entah apa yang ayah inginkan."

"Kalau begitu nanti kita pergi ke sana. Nenek akan menemanimu."

Viana buru-buru menggeleng. "Tidak perlu, Nek. Aku hanya pergi ke rumah ibu saja. Rumah ibu dekat dari sini dan aku masih ingat jalannya. Jangan sampai Nenek kelelahan karena aku," tolaknya lembut.

Nenek Martha pun tersenyum. Viana pasti membutuhkan waktu sendirian untuk bernostalgia di rumah ibunya. Jadi lebih baik tidak diganggu. "Baiklah."

Ellie tertarik. "Kalau aku? Apakah aku boleh ikut?"

Viana menggeleng. "Kamu di sini saja dan jaga Nenek Martha. Selama kita di sini, jangan sampai Nenek kerepotan sendirian."

Ellie pun cemberut dan mengangguk.

***

Sore harinya, rombongan Alen sudah tiba di Kota Lyge. Kota Lyge bersebelahan dengan lokasi longsor yang menjadi tujuan misi, yaitu daerah Matna. Alen ingin melanjutkan untuk sampai ke sana. Namun, entah kenapa sesuatu mengganjal hatinya.

"Dean, apakah tidak ada perkembangan terbaru dari gadis itu?" tanya Alen.

"Uh, ada," jawab Dean membaca dari ponselnya. "Ia sekarang berada di Desa Atna, desa yang terletak di ujung selatan Kota Lyge."

Dahi Alen berkerut. Ia memang tahu Viana pergi ke suatu tempat. Namun kenapa harus ke daerah ini? Apakah ada tujuan khusus? Lalu selama perjalanan, apakah ia dikenali orang?

Alen merasa tidak beres di dalam hati. Kenapa ia tiba-tiba mengkhawatirkan Viana?

Kata perpisahan Viana waktu itu terngiang lagi di pikirannya.

"Atas kebaikan Anda, Viana Harvey mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga suatu saat nanti, ada kesempatan bagi saya untuk membalas Anda kembali."

Alen pun menghela napas, ia menyerah kepada pikirannya. "Karena hari sudah petang, kita beristirahat dulu di markas rahasia cabang Kota Lyge. Besok kita lanjutkan perjalanan ke lokasi longsor."

Rombongan mobil pun bergerak menuju markas cabang Kota Lyge.

Setelah mereka tiba di markas, tiba-tiba seorang bawahan melapor pada Alen.

"Komandan! Anggota kami yang bertugas mengawasi gadis itu di Desa Atna melihat beberapa pendatang baru yang tidak wajar! Mereka bahkan membawa senjata api!"

Ekspresi Alen langsung berubah. Ia segera menurunkan perintah.

"Bawa beberapa orang dan senjata! Kita langsung menuju ke Desa Atna!"

***

Sesuai rencana Viana sebelumnya, ia pergi sendirian untuk mengunjungi rumah peninggalan ibunya.

Viana sengaja memilih waktu sore hari, karena waktu itu lebih tenang baginya untuk mencari maksud dari permintaan ayahnya.

Hari sudah mulai redup. Viana terus melangkah menyusuri hutan. Rumah ibunya dulu sedikit terpencil dari rumah warga sekitar. Karena wilayah ini merupakan desa terpencil di pegunungan, pola pemukimannya cenderung menyebar.

Viana terus memaksa otaknya untuk mengingat jalan. Semakin ia dekat dengan rumah ibunya, semakin tidak karuan perasaan di hatinya.

Saat Viana melihat rumah kayu yang hampir roboh di depannya, tiba-tiba terdengar suara gesekan rumput di belakang. Viana langsung waspada.

Dor!

Sebuah peluru datang tanpa peringatan dan menuju kaki Viana. Untungnya, Viana sudah bergerak sejak ia mendengar suara gesekan rumput. Jadi peluru itu meleset dan hanya menggores kakinya. Namun, luka itu masih cukup dalam dan mengakibatkan rasa sakit yang membakar. Viana langsung jatuh ke tanah.

Merasakan bahaya, Viana bersikeras bangkit untuk kabur. Kali ini, tembakan berbunyi lagi dan peluru tajam menggores lengannya.

"Kak Viana, jangan mencoba untuk kabur dariku."

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang