25. Viana Hampir Mati

5 1 0
                                    

Alen membawa Viana menjauh dari lokasi pertempuran dan menemukan tempat untuk mengecek kondisinya. Dengan hati-hati, ia duduk bersandar di pohon sambil memeluk tubuh Viana.

"Viana! Viana! Sadarlah!"

Viana sedikit tersadar karena mendengar suara yang akrab di telinganya. Ia berjuang untuk membuka matanya sedikit, lalu melihat wajah seorang pria tampan yang agak kabur dalam pandangannya.

"A... Alen?"

Alen sedikit lega karena Viana masih bisa sadar. Namun, kecemasannya belum mereda. Setelah dia memeriksa luka tembak di dada Viana, dia menemukan bahwa luka tembaknya berada di atas jantung. Hati Alen terasa dingin. Jika dia terlambat sedikit saja, peluru itu akan menembus jantung Viana.

Viana hanya merasakan sakit luar biasa dan berdenyut-denyut di dadanya. Panas dari logam peluru itu menyiksanya dan membuatnya semakin kesakitan. Dia tanpa sadar mengerang dan merintih.

"Bertahanlah sebentar, aku akan membawamu ke dokter militer," ucap Alen cemas.

Viana tidak memiliki kekuatan untuk menjawab karena rasa sakit. Tak lama kemudian, Dean menemukan mereka berdua dan membawa kabar. "Komandan, mobil kita sudah di dekat sini. Kita bisa pergi."

Alen mengangguk dan segera membawa Viana ke dalam mobil. Mobil bergerak cepat meninggalkan tepi hutan.

Di dalam mobil, Alen melihat kondisi Viana yang menyedihkan. Bibirnya kering dan pucat karena kesakitan. Darah di dadanya terus mengalir. Viana juga semakin lemah dan setengah tidak sadarkan diri. Alen membantu menyumbat lukanya dan perlahan memberinya minum.

Setelah minum, Viana sedikit mendapat kejernihannya. "Jangan... jangan... membunuh adikku."

Alen sedikit tidak menyangka Viana akan mengatakan ini dan mengernyit. "Dia sudah berbuat jahat padamu. Kenapa tidak membunuhnya saja?"

Namun Alen tahu, meskipun Darren bersalah, dia sebaiknya tidak membunuh orang sebelum diadili. Alen hanya ingin memancing Viana agar terus berbicara dan tidak tertidur.

Viana mengerutkan kening, mengabaikan pertanyaannya yang sembrono itu. "Ellie... ada di rumah nenek Martha."

Alen mengangguk. "Aku tahu. Aku sudah menemukan dan mengamankan mereka," hiburnya menenangkan.

Viana tersenyum lemah, satu-satunya kekhawatirannya telah hilang.

Namun, bayangan kilas balik kejadian di hutan tadi kembali menyerangnya, membuat hatinya sakit. Karena kondisinya saat ini lemah, emosinya sedikit tidak terkendali dan mulai menangis tanpa sadar.

"Adikku... dia ingin mencoba membunuhku sejak lama."

"Keluargaku yang tersisa di dunia ini, hanya ingin membunuhku."

Meskipun Viana tidak pernah menganggap Darren dan ibu tirinya sebagai "keluarga" yang sebenarnya, tapi perasaan dikhianati dari orang rumahnya sendiri sangat menyakitkan. Apalagi, mereka tumbuh dan tinggal bersama sejak lama.

Setelah kematian ibu dan ayahnya, Viana hanya tinggal bersama mereka. Tapi sekarang...

Viana bahkan tidak sanggup memikirkannya. Hatinya terasa sangat sakit.

Alen tidak menyela. Dia mendengarkan sambil mengerutkan kening.

Viana terisak sambil menahan perih yang terus berdenyut di dadanya. "Alen, aku tidak punya siapapun yang bisa kupercaya di dunia ini."

"Aku sendirian..."

Alen menggenggam tangannya. "Tidak. Kamu tidak akan sendirian lagi. Jangan pikirkan hal ini sekarang."

Alen mengamati perkembangan Viana dan tidak bisa berhenti khawatir.

Luka di dada kiri Viana terus mengeluarkan darah hingga membasahi kain di tangannya dengan warna merah. Wajah Viana memucat karena semakin kekurangan darah. Tubuhnya pun mulai dingin.

Alen menghibur dengan nada tenang dan mantap. "Jangan khawatirkan apapun, oke? Kuatkan hatimu dan bertahanlah. Setelah kita berhasil melewati ini, kita pasti akan menemukan jalan keluar."

Suara Alen yang dalam benar-benar menenangkannya. Kecemasannya tanpa sadar menurun dan perlahan menjadi rileks. Namun, tak lama setelah itu penglihatannya kembali memburam dan kekuatannya melemah.

Alen tanpa sadar memeluknya erat.

"Terima kasih... karena telah... menyelamatkanku sekali lagi," ucap Viana dengan kekuatan terakhirnya, lalu kehilangan kesadaran.

Alen mengecek denyut jantungnya dan masih berdetak dengan lemah. Ia pun merasa sedikit lega.

Dean melirik Viana dan Alen yang berada di jok belakang. "Komandan, kita akan sampai di markas rahasia cabang sebentar lagi."

Alasan Alen tidak membawa Viana ke rumah sakit adalah karena khawatir identitasnya terungkap. Terbukti baru saja, orang keluarga Harvey memburu Viana dan hampir membunuhnya karena identitasnya terekspos.

Untung saja, Alen membawa dokter militer ahli seperti Mike dalam misi kali ini. Dia akan bisa menolong Viana.

***

"Dokter Mike!"

Mike, yang sedang duduk di ruang pengobatan, terkejut. Ia bangkit dan melihat Alen sedang membawa seorang gadis yang sudah berdarah-darah dan meletakkannya di tempat tidur.

Mike bergegas. "Apa yang terjadi?"

Alen menjawab dengan singkat. "Dia ditembak."

Mike melihat posisi lukanya dan mengerutkan kening. Ia mulai mengambil gunting dan memotong kain di daerah luka. Ia sangat tenang dan profesional. Dalam mengurus pasien, baik pria maupun wanita, tidak berpengaruh apa pun padanya.

Alen juga sama. Meskipun dia tidak ahli dalam bidang kedokteran, dia sudah memeriksa banyak kasus dan juga banyak korban. Hal seperti ini sudah biasa baginya.

Namun, entah kenapa kali ini ia sedikit gugup karena korbannya adalah Viana.

"Ini..." Mike mengerutkan kening setelah memeriksa luka. "Luka tembak ini berada beberapa inci dari atas jantung. Untung saja peluru itu tidak mengenai bagian vital. Jika meleset sedikit saja, dia tidak akan bisa diselamatkan."

Alen sudah tahu itu, jadi dia hanya bisa menjawab, "Aku sedikit terlambat saat menyelamatkannya. Untung saja hal itu tidak terjadi."

Selama mereka berdua berbincang-bincang, tangan Mike yang terampil juga tidak berhenti menangani luka Viana. Bagi dokter militer seperti Mike, luka tembak adalah hal yang biasa ia tangani. Dengan peralatan medis yang cukup lengkap di markas, ia melakukan operasi kecil.

"Berdasarkan ceritamu, seseorang benar-benar ingin membunuhnya," ucap Mike.

Alen hanya bercerita soal Viana yang diburu dan ditembak oleh seseorang, tapi belum menyebutkan identitas Viana Harvey.

"Orang itu benar-benar kejam dan tanpa ampun. Dari cara menembaknya ini, dia benar-benar berniat ingin membunuh," timpal Mike lagi.

Alen tidak menanggapi.

Waktu berlalu dan Mike selesai menangani luka Viana. Viana akhirnya keluar dari bahaya. Setelah luka tembak diatasi, Mike berlanjut menangani luka di lengan dan kakinya.

Omong-omong, sejak tadi Mike juga menyadari reaksi Alen dan tersenyum. "Sepertinya aku menemukan gadis yang telah membuatmu gelisah sejak beberapa hari yang lalu."

Alen tidak menjawab.

Mike melihat wajah Viana dengan hati-hati. "Dia benar-benar cantik. Tubuhnya sangat halus dan lembut. Dia sangat terawat sejak kecil," penglihatan dokter Mike tidak bisa ditipu. "Apa kamu tidak ingin memberitahuku identitasnya?"

Alen memalingkan wajah.

Mike terkekeh dan langsung menebak dengan yakin. "Gadis nomor satu di ibu kota, mantan pemimpin keluarga Harvey, Viana Harvey."

We Are Unstoppable! (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang