BAB 25

830 147 22
                                    

worried : asumsi dan prasangka
.
.
.

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar. Rose terbangun dengan mata sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam surat yang ditinggalkan Jeffrey. Hatinya terasa kosong dan berat.

Sejak Jeffrey pergi, hari-hari Rose dipenuhi dengan ketakutan yang mendalam. Ketakutan akan kehilangan pria yang akhirnya ia sadari adalah cinta sejatinya. Surat itu terasa seperti hukuman. Kalimat yang tertulis di sana seolah menjadi pengikat yang mengurung hatinya dalam penyesalan.

Rose bangkit dari tempat tidur, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ada kelelahan dan putus asa yang tergurat jelas. Namun, di balik itu semua, terselip tekad untuk tidak menyerah. Ia tahu, satu-satunya cara untuk menghentikan penderitaannya adalah dengan menemukan Jeffrey.

Matahari pagi menyinari gedung Laksamana Teknologi dan Manufaktur, sebuah gedung tinggi dengan arsitektur modern. Gedung ini terletak di kawasan bisnis elit di Bandung, dikelilingi oleh gedung-gedung pencakar langit lainnya. Meski tempat ini biasanya terasa megah dan mengesankan, bagi Rose, tempat ini justru terasa dingin dan asing.

Gedung Laksamana Teknologi dan Manufaktur adalah simbol kesuksesan Jeffrey. Sebagai CEO dari salah satu perusahaan teknologi dan manufaktur terbesar di Indonesia, Jeffrey dikenal sebagai pria yang ambisius dan berdedikasi tinggi. Namun, sekarang, gedung ini terasa seperti labirin yang penuh dengan ketidakpastian.

Rose dan Lilyana keluar dari mobil, menatap gedung tersebut dengan harapan yang menipis. Rose menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian sebelum memasuki gedung tempat Jeffrey biasa menghabiskan sebagian besar waktunya.

Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, disambut dengan lantai marmer yang bersih mengkilap dan suasana yang formal. Seorang wanita dengan penampilan profesional, mengenakan setelan jas berwarna netral dan rambutnya ditata rapi, tengah duduk di belakang meja. Tatapannya yang fokus pada layar komputer sejenak teralihkan saat Rose mendekat, namun profesionalisme tetap terjaga di wajahnya.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"

Rose mencoba menenangkan diri dan menahan napas, berusaha menyembunyikan rasa lelah dan kekhawatiran di suaranya. Dia memperkenalkan dirinya dengan singkat, meskipun rasa cemas membuat suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Saya Rose, istri Pak Jeffrey Laksamana. Apa Anda tahu di mana suami saya sekarang?"

Resepsionis tersebut tampak sedikit terkejut mendengar nama yang disebutkan, mungkin karena ketidakbiasaan situasi ini atau mungkin juga karena dia baru saja mendengar kabar bahwa Jeffrey tidak ada di kantor. Dia segera menarik napas panjang dan mengalihkan perhatiannya pada layar komputer di depannya, membuka catatan dan database untuk mencari informasi yang relevan.

"Maaf, Bu Rose. Pak Jeffrey baru saja mengambil cuti mendadak selama seminggu. Kami juga belum mendapatkan informasi lebih lanjut ke mana beliau pergi."

Kata-kata resepsionis terasa seperti tendangan di perut Rose. Kegalauan dan ketidakpastian semakin membebani dirinya. Dia sudah berusaha menghubungi Jeffrey beberapa kali tanpa hasil, dan sekarang, tanpa ada petunjuk yang jelas, rasa khawatirnya semakin meningkat.

"Apakah ada kemungkinan beliau meninggalkan catatan atau informasi tentang keberadaannya di luar jam kerja? Mungkin ada rekan kerja yang tahu?"

Resepsionis terlihat berpikir sejenak, mencoba untuk mengingat jika ada catatan tambahan atau informasi yang mungkin tidak tertera di komputer. Dia mengerutkan dahi, tampak berpikir keras.

"Hmm, saya tidak melihat adanya catatan khusus di sini. Tapi saya bisa mencoba menghubungi beberapa rekan kerja Pak Jeffrey untuk memastikan jika mereka tahu kemana beliau pergi. Tunggu sebentar, ya."

MBW || jaeroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang