BAB 30

516 102 18
                                    

I love you | Selamanya
.
.
.

Sudah tiga hari berlalu ketika Jeffrey dan Rose tenggelam dalam kesunyian yang menyesakkan. Meski hari-hari dipenuhi kesibukan, malam selalu menjadi saat yang paling mereka nantikan. Kini setiap malam terasa asing,  tidak ada lagi cerita kecil sebelum tidur, tak ada pelukan hangat atau sekadar sentuhan yang biasa menenangkan. Mereka tidur saling membelakangi, menghadap dinding, seakan menarik garis yang tak terlihat di antara mereka. Padahal di hati masing-masing, ada perasaan kosong yang semakin merajai.

Sore itu Jeffrey pulang lebih awal dari biasanya. Beban pekerjaan yang menumpuk di kantor mulai menggerogoti tenaganya, bayangan akan rumah yang selama ini selalu menjadi pelipur lelah kini malah menambah kecemasan.

Pikiran untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan Rose untuk mengakhiri semua kerenggangan ini sempat melintas di benaknya. Namun, gengsinya masih terlalu besar. Ia tahu bahwa rumahnya kini bukan lagi tempat yang sama, hangat dan penuh kasih, sejak ia dan Rose tenggelam dalam kesalahpahaman yang belum terselesaikan.

Sesampainya di depan rumah, Jeffrey melihat Bu Mirna, tetangganya yang sedang menyapu halaman. Melihat Jeffrey baru turun dari mobil, membuat Bu Mirna segera menghampirinya dengan senyuman penuh keingintahuan.

“Pak Jeffrey, baru pulang ya?” sapa Bu Mirna dengan nada yang ramah. Jeffrey hanya mengangguk dan membalas dengan senyum kecil.

“Hehehe Iya nih Bu.”

“Nggak sama Mbak Rose?” Bu Mirna langsung menyelipkan pertanyaan yang menohok.

Jeffrey menghela napas sejenak, Bu Mirna memang terkenal dengan keingintahuannya yang sampai diluar batas.

“Nggak, istri saya belum pulang kerja.”

“Kerja?” Bu Mirna mengernyit, tampak kaget sekaligus tak setuju. “Lho, kok istrinya dibiarin kerja sih Pak? Bukannya Mbak Rose itu mestinya di rumah ya? suaminya pulang bukannya disambut eh malah sibuk kerja piye toh iki.

Jeffrey mencoba tersenyum sopan, meski dalam hatinya merasa jengkel. “Kami sudah punya kesepakatan, Bu. Rose memang ingin melanjutkan kariernya, dan saya juga tidak mempermasalahkan hal itu.”

Mendengar penjelasan Jeffrey tidak membuat Bu Mirna berhenti, ia justru semakin bersemangat. Ia menatap Jeffrey dengan pandangan prihatin. “Wah, kasihan juga saya sama Bapak. Pantesan Pak Jeffrey kelihatan capek terus ya belakangan ini. Di rumah nggak ada yang urus ya Pak? Saya bilang gini karena perhatian lho, kalau istri di rumah, kan pasti beda. Bapak bakal lebih terurus, gitu..”

Jeffrey tersenyum tipis, mencoba meredam rasa kesalnya. “Terimakasih atas perhatiannya bu Mirna. Tapi saya baik-baik saja, dan Rose selalu ada untuk saya dengan caranya sendiri.”

“Kok gitu ya? Bukan mau ngatur nih Pak Jeffrey, tapi anak saya Nengsih beda lho.” Bu Mirna memotong, seakan tak peduli dengan jawaban Jeffrey. “Nengsih pasti nggak bakal ninggalin rumah buat kerja. Nengsih itu siap sekali jadi istri lho. Anaknya baik , solehah, nggak perlu repot kerja di luar, paham banget sama urusan rumah tangga karena saya ajarkan sejak kecil untuk nurut sama suami."

Bu Mirna seperti tidak memberikan kesempatan untuk Jeffrey menjawab, baru saja Jeffrey akan membuka mulut namun ia kembali melanjutkan ucapannya. “Ah saya juga dengar-dengar katanya Mbak Rose itu nikah sama Bapak karena calon suaminya kabur di hari pernikahan ya? Makanya pernikahan pak Jeffrey nggak gembor-gembor. Betul nggak Pak?”

Jeffrey merasa seakan darahnya mendidih, rahangnya mengeras menahan amarah karena ucapan Bu Mirna yang melewati batas. “Ibu tidak tahu apa-apa tentang saya dan Rose, jadi sebaiknya Ibu tidak asal bicara karena itu bukan urusan Ibu.  Terima kasih kalau Ibu memang berniat baik, tapi tolong jangan asal bicara tentang kehidupan saya dan istri. Saya mendukung apa yang istri saya lakukan, dan jika ibu tidak setuju ya silahkan. Saya bahagia dengan Rose sebagai istri saya, ucapan ibu Mirna tidak akan merubah prinsip saya. Saya tetap mencintai Rose apa adanya, saya mohon agar tidak lagi berbicara hal buruk tentang istri saya atau saya laporkan ibu atas pencemaran nama baik? Selama ini saya hanya diam, akan tetapi ternyata sikap bu Mirna memang tidak pantas dan saya rasa kali ini saya harus tegas menghadapi ibu. Dan sekali lagi saya tegaskan bahwa Rose adalah satu-satunya perempuan yang saya cinta, saya nggak butuh istri lain. Nggak butuh Nengsih, atau siapa pun selain dia."

MBW || jaeroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang