23

12.3K 708 27
                                    


"Ayah dengar kalian sedang dekat dengan anak angkat keluarga Pratama."

Junen mengepalkan kedua tangannya begitu juga dengan Razer.

"Gak usah ikut campur!" datar Junen.

"Lebih baik ayah urus keadaan ayah sendiri!" timpal Razer.

Kedua pemuda itu bersaudara beda ayah. Dengan selisih kelahiran hanya 3 bulan.

"Ayah gak pernah setuju! Kalian harus bersama dengan gadis yang keturunan murni dari konglomerat bukan yang hanya menumpang marga!"

Prang!

Junen melempar piring makanan nya ke lantai. Memang yang paling sulit mengendalikan diri adalah Junen.

"Urus suami bunda dengan benar!" Junen meninggalkan ruang makan. Razer walaupun emosi tetap menghabiskan makanannya.

"Razer dengar ayah, kamu haru―"

"Orang cacat diam aja!" sentak Razer tiba-tiba yang membuat Bianca terkejut.

"Razer!"

Razer tersenyum miring mendengar bentakan ibunya. "Bener kata Junen, urus suami bunda! Gak usah ikut campur urusan kita!"

"RAZER!" teriak Abigail dengan keras. Bianca mengelus punggung suaminya. "Sudah mas, biarkan mereka menentukan pilihan sendiri. Aku takut kalau di kekang mereka akan semakin berontak." lirih Bianca.

Selain Awan dan Guntur yang bersaudara, Junen dan Razer juga bersaudara. Namun beda dengan kedua anak kembar itu, Junen serta Razer di asuh dengan tekanan Abigail. Tapi semenjak pria paruh baya itu kecelakaan menyebabkan dirinya harus lengket dengan kursi roda, kekangan agak berkurang.

"Mereka sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang buruk mana yang tidak. Tolong ya mas, biarkan mereka berdua menentukan pilihan mereka." bujuk Bianca. "Kalau mas tidak percaya dengan gadis itu kita bisa menemui nya secara langsung untuk menilai, bagaimana menurut mas?"

Abigail menghela nafas, "Kalau itu mau kamu. Kita akan datang ke rumah Pratama besok malam." Bianca tersenyum cerah mendengar ucapan suaminya.

.
.
.

"Papa curang!"

Devan tertawa melihat wajah Ciya yang belepotan penuh dengan bedak. Mereka sedang bermain catur atas ajakan Devan. Tentu saja Ciya selalu kalah karena dia tidak menyukai permainan itu.

"Mama Ciya haus!"

Ciya menyingkirkan papan catur dari hadapannya. Terlihat sekali di wajah gadis itu guratan lelah akibat meladeni Devan.

"Mau susu, hm?"

Ciya menyembunyikan wajahnya di dada Dera. "Ciya haus, papa main nya curang!" adu Ciya sambil cemberut.

"Siapa yang curang? Itu kamu aja yang gak bisa main catur." ledek Devan yang semakin membuat Ciya murung.

"Mas jangan di godain anak nya nanti nangis!" tegur Dera menatap tajam suami nya. Devan pun menepuk punggung Ciya halus. "Papa akan buatkan susu sebentar ya, kamu harus tidur sudah terlalu lama bermain."

"Malam ini tidur bareng mama papa ya," pinta Dera. Ciya mengangguk saja. Dera membersihkan sisa bedak di wajah putrinya. Tatapan nya menyendu, andai Senja masih di sini bisakah mereka bahagia berempat?

"Sayang, ayo ke kamar." Devan datang sambil membawa sebotol dot.

"Kamu gendong Ciya mas, dia tidur sama kita malam ini."

Devan cemberut, kenapa buntalan ini malah tidur bersama mereka? Kalau ada putri imut nya ini dia jadi tidak bisa modus.

"Baiklah, sini papa gendong anak singa yang bantet ini."

"Ciya gak bantet!"

Plup

Ciya menatap penuh permusuhan kepada Devan yang tiba-tiba menyumpalkan dot ke mulutnya namun saat dia di gendong oleh ayahnya itu, Ciya lekas mengalungkan tangannya ke leher Devan.

"Sweet dream bayi singa." bisik Devan. Dera juga mengucapkan hal yang sama sambil mengecup lembut kening Ciya.

****

"Jadi kamu sebenarnya ingin di jodohkan dengan putri kedua dari Devan Pratama, Sabin?"

Sabin mengangguk. Dirinya sudah mengatakan tentang kesalahpahaman yang sempat terjadi.

"Dia anak angkat kan?" tanya Dwi dengan nada tak suka.

"Kenapa memang nya bun? Ciya anak yang baik," jawab Sabin.

"Baik saja tidak cukup Sabin. Kamu harus mencari calon istri yang statusnya jelas! Contohnya Senja, dia anak kandung dari keluarga itu. Dia baik, kuat dan tidak terlihat seperti bocah!"

"Bun, Sabin pokoknya cuma mau di jodohkan sama Ciya. Sabin cuma nikah sama Ciya!"

Sabin menatap kecewa kedua orangtuanya. "Apapun keputusan ayah dan bunda, Sabin hanya akan memilih Ciya!"

"Sabin! Sabin tunggu dulu!"

Mengacuhkan panggilan Dwi, Sabin naik ke kamarnya.

.
.
.

"Kali ini pasti berhasil, Ciya bakal musnah haha..!" tawa Alana.

Tbc

Mau fokus sama Ciya dulu, baru ke cerita sebelah

Figuran Pick Me [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang