28🚫🥵

21.6K 792 47
                                    


Dera yang di jemput asisten suami nya kebingungan tapi saat mendengar alasan nya wanita itu berubah menjadi sangat panik.

"Ruangan atas nama Raciya Pratama?"

"Sebentar pak ... Kamar Tulip nomor 256 VIP 1 lantai 4."

Dera langsung ke sana di iringi oleh Arnold. Dia harus ada di sini untuk mencegah hal yang tidak mungkin.

"Bagaimana keadaan nya?" tanya Dera saat sudah masuk.

Awan langsung menjelaskan keadaan Ciya. "Dokter bilang tidak parah. Hanya benjol, tidak sampai retak. Ciya akan sadar setelah pengaruh anestesi nya hilang."

Dera mengecup kening Ciya cukup lama. Netra coklat nya bergetar, tangisnya sudah luruh. Takut sekali akan kehilangan putri satu-satunya.

"Terimakasih sudah melindungi Ciya,"

"Sudah jadi tugas kita tante," sahut Razer.

"Anu nih tan, kita ada urusan bentar jadi mau pulang dulu. Boleh kan?" izin Sabin.

"Tentu saja, silahkan."

Arnold paham kenapa tuan nya terlihat sangat frustasi. Karena memang pemuda-pemuda ini terlihat menyebalkan sekali.

.
.
.

Di rumah kosong yang berdebu, bekas rumah Awan dan Guntur. Masih ingat lokasi Kamila bunuh Senja? Nah mereka sekarang di sana.

Dan Alana terikat menggantung secara terbalik di tengah ruangan dalam keadaan telanjang bulat.

"Gila!" decak Razer kagum akan hal itu. Dia menepuk bahu Junen. "Bangga gue sama lo!" ujarnya yang langsung mengundang decakan malas Junen.

"Psikopat lo ternyata!" cibir Awan tak habis pikir melihat kelakuan Junen. Guntur sendiri bergidik ngeri, tidak terbayangkan kalau Alana akan di ikat dengan menggantung seperti itu.

"Terinspirasi dari drakor." kata Junen. Kemudian dia melempar sarung tangan tinju kepada Sabin. "Giliran lo, gue udah selesai!" ucap nya.

Sabin menerima itu dengan senyum mengembang. "Boleh juga ide lo," puji Sabin. Dia memasang sarung tangan tinju itu.

Bugh!

Bugh!

Sensasi samsak hidup itu membuat Sabin berbinar cerah. Alana sudah tidak mengeluarkan jeritan kesakitan nya, karena gadis itu benar-benar di ambang kematian.

BUGH!

Pukulan terakhir dari Sabin membuat sebelah mata Alana pecah. "Gue mau juga dong!" Razer merebut sarung tangan tinju itu dari tangan Sabin mengabaikan noda darah yang ada di sana.

BUGH!

Krek!

Berbeda dengan Sabin yang memukul wajah Alana. Razer memukul dada Alana sampai bunyi krekーtulang rusuk yang patah.

BUGH!

Cratch!

Payudara Alana robek karena pukulan keras Razer. Darah segar muncrat. "Sial!" Razer melepaskan sarung tinju itu lalu melemparkannya ke lantai kemudian ia mengusap wajahnya yang terkena darah. "Anjir bau!" pekik nya.

"Siapa yang ambil giliran?" tanya Junen. Dia mengeluarkan sarung tinju yang baru. Guntur berdiri. "Gue." ucap nya.

BUGH!

"Khek!"

Alana memuntahkan darah saat perutnya di pukul keras oleh Guntur.

BUGH!

BUGH!

Berkali-kali Guntur meninju keras perut Alana membuat gadis itu muntah banyak darah, bahkan perutnya sudah biru dan bengkak.

"Gak seru! Cuih!" Guntur meludah di wajah Alana.

Alana sendiri kering air matanya sejak penyiksaan oleh Junen. Sekarang Alana benar-benar berharap dirinya mati saja.

"Wan lo mau?" tawar Guntur. Awan mengangguk namun tidak mengambil sarung tinju itu. Dia langsung berjalan ke arah Alana.

"B-u..uh ...ku.."

"Masih bisa ngomong lo?" sarkas Awan. Dia menyalakan korek miliknya lalu menyulut rokok nya. Lalu menyelipkan rokok yang menyala itu ke bibir Alana. "Lo jatuhin, kepala lo gue penggal!" ancam Awan sadis.

Alana sekuat mungkin mempertahankan rokok itu. Dia memang ingin cepat mati tapi penggalan kepala bukan jalan yang bagus karena sudah pasti lehernya akan di gorok secara perlahan. Itu sama saja diri nya masih tersiksa.

Bugh!

Bugh!

Awan meninju wajah Alana dengan tangan telanjang. Hantaman tulang tangan yang berbenturan dengan tulang wajahnya membuat Alana benar-benar kesakitan lebih dari yang tadi.

Pandangan Alana benar-benar sudah sangat buram. Rasa sakitnya perlahan memudar, kesadarannya pun mulai tergantikan dengan kegelapan.

DUG!

Tinjuan terakhir dari Awan adalah penutup untuk umur Alana. Gadis itu mati dengan mengenaskan, lebih mengenaskan daripada Senja yang di bunuh oleh Kamila.

"Mau di apain nih mayatnya?"

"Bakar!"

.
.
.

Beberapa hari kemudian.

"Kamu yang namanya Raciya Pratama?"

Ciya menatap bingung pria dewasa yang memakai kursi roda di hadapannya.

"Iya om, om kenal Ciya?"

"Tidak, tapi kedua putraku mengenali mu."

Tbc

Seneng gak aku up ugal-ugalan gini? Btw tadi part nya ke acak jadi aku benerin dulu.

Figuran Pick Me [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang