Haii hai haiiii!! Kembali lagi bersama Arsyayang di sini!
Adakah yang merindukanku?
Huft! Udah berapa lama ya, lapak ini berdebu?
Rasanya kangeeeeen bangeeeet. Kalian apa kabar? Semoga baik, ya!Ramaikan, yuk! Biar nanti kutambah lagi extra part-nya!
Selamat membaca🥰
☁️
Mendung. Cakrawala tampak murung. Tidak ada langit biru, hanya awan kelabu. Rinai hujan turun membasahi dari pagi buta, dan kini baru berhenti. Aroma tanah basah menyeruak, mencipta efek tenang kala menghidunya. Suasana begitu sepi, hening, juga sejuk untuk dinikmati.
Seorang lelaki sejak tadi memandang ke luar jendela. Ia menarik napas panjang sebelum mengeluarkannya perlahan. Menutup mata, ia menyembunyikan manik selegam jelaga. Rasa sesak karena rindu memenuhi rongga dada. Air mata yang sejak tadi ditahannya meluncur tanpa aba-aba.
Kala mata itu terbuka, tatapannya masih terpaku pada bunga matahari yang ada di taman. Satu-satunya bunga yang begitu menarik perhatiannya. Bunga yang mengingatkan pada sosok yang kini sedang dirindukan. Wanita terhebat yang pernah dikenalnya, yang dia panggil sebagai Ibu meski tidak memiliki hubungan darah sebagai ikatan. Ia terkadang berangan bisa bertemu, hidup bersama lebih lama, tetapi lelaki itu tak memiliki kuasa. Sungguh, sudah diikhlaskannya kepergian sang ibu, meski terkadang rindu yang datang selalu saja membuatnya pilu.
Jika lelaki itu tidak bisa pergi menemui sang ibu, apakah salah jika berharap sang ibu mampir barang sejenak? Ia sungguh rindu ingin bertemu, memeluknya meski sesaat, dan bercerita banyak hal yang telah berhasil ia lewati selama ini.
"Rev, hari ini jadi pergi?"
Pertanyaan itu membuatnya tersentak dan kembali pada realita. Terburu Revian menyeka air mata dan beranjak dari duduknya. Ia berbalik, menatap sahabatnya yang sedang berdiri di ambang pintu kamar. Ia kemudian berucap, "Jadi, tapi sorean dikit. Lo mau ikut?"
Raka mengerutkan dahi. "Katanya lo ngajak Aruna? Terus gua bakal jadi nyamuk gitu? Yang bener aje!"
"Kali aja lo berubah pikiran mau ikut." Lelaki itu beranjak, melangkah ke arah Raka kemudian bertanya, "Gua pinjem mobil lo, ya?"
"Aelah! Pake izin segala. Pake tinggal pake, dah. Kek sama siapa aja lo." Raka tertawa kecil kemudian merangkul pundak Revian. "Kita udh jadi keluarga, anjir. Lupa emang?"
Langkah kaki keduanya beriringan menuju belakang rumah. Tempat di mana kedua orang tua Raka tengah berkumpul. Menikmati secangkir coklat hangat dan berbincang tentang banyak hal. Pasalnya, Revian dan Raka juga baru saja menyelesaikan wisudanya kemarin. Wajar saja jika mereka rindu menghabiskan waktu bersama karena kedua lelaki itu mengenyam pendidikan kuliahnya di luar kota.
"Emang mau ngajak kencan Aruna ke mana, sih? Tumben banget lo sampe izin mau pake mobil. Biasanya juga tinggal make." Raka melirik Revian yang berjalan di sebelahnya.
"Ke kuburan paling," jawab Revian. Kalimatnya mengundang banyak pertanyaan di benak Raka tentu saja. "Mau ketemu ibu. Makanya gua nawarin lo mau ikut apa engga?" jelas lelaki itu kemudian.
Mengangguk pelan, Raka paham apa yang dirasakan Revian. Penjelasan tersebut juga membuatnya mengerti kenapa ia menemukan sang sahabat menangis tadi. Tetapi ia tidak ingin menghujaninya dengan banyak pertanyaan, karena mungkin memang Revian sedang ingin menangis sendirian. Sebab, segala emosi yang ada merupakan hal valid yang tidak perlu ditolak kehadirannya. Termasuk kesedihan Revian karena merindukan seseorang yang telah lama pergi juga terkadang perlu dikeluarkan. Tidak mungkin kan, selamanya manusia menyimpan seluruh benang kusut di kepala tanpa menguraikannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Criticalove [SELESAI]
Teen FictionYou gave me a reason to keep on breathing. [Criticalove] Aruna. Banyak orang yang mengenalnya sebagai gadis periang, cantik, baik, penuh semangat, dan juga pintar. Namun siapa sangka, Aruna yang selalu terlihat baik-baik saja nyatanya punya banyak l...