Beban-beban ambisi yang ditimpakan nyatanya membuat luka di sana-sini. Raga dan jiwa letih, ingin undur diri. Namun, karena batas waktu kehancuran diri tak kunjung ditentukan, maka yang mampu dilakukan hanyalah bertahan.
☁
☁
Revian mendribble bola basketnya tanpa minat yang penuh. Berulangkali ia menengok ke arah parkir mobil. Raka belum juga muncul, padahal lelaki itu berjanji akan segera kembali. Berdecak, lelaki itu lantas menyenderkan punggungnya pada dinding.
Di depan pos satpam, ia menunggu sendirian seperti orang tak bertujuan. Tapi tak apa, lelaki itu masih punya stok kesabaran yang begitu banyak. Hanya menunggu Raka yang menghilang tanpa kejelasan merupakan hal mudah.
Tangannya kini tak lagi bergerak aktif memantulkan bola. Benda bulat berwarna oranye tersebut sudah berada dalam dekapannya. Lalu Revian memilih duduk karena nyatanya berdiri mencipta lelah. Pandangannya lurus ke depan, mengamati beberapa siswa-siswi yang hendak pulang menuju rumah masing-masing.
"Anjir!" Revian mengumpat ketika dirasa seseorang meniup telinganya. Menoleh, Revian lantas merotasikan bola matanya malas.
"Jangan ngalamun, ntar kerasukan," ucapnya diiringi suara cekikikan.
"Hm." Lelaki itu sama sekali tidak mengindahkan. Sosok gadis di sebelahnya sudah terlalu sering mengganggu.
Sudah seminggu lebih hidup tenang Revian selalu terusik, gadis itu tak pernah berhenti mengganggunya. Entah ketika terpergok tidur di perpustakaan, atau bertemu di pos satpam seperti ini.
"Lagi nungguin siapa emang?"
Revian menoleh, ditatapnya mata cokelat yang berbinar ingin tahu. Namun ia tak menjawab, hanya membisu lalu memalingkan pandangan ke mana pun asal bukan gadis itu.
"Ish cueknya nggak ilang-ilang!" Gadis itu, Aruna mengerucutkan bibirnya lucu. Lalu ia melangkahkan kaki ke kanan, sedikit demi sedikit memangkas jaraknya dengan Revian.
Lelaki itu hanya berdecak malas ketika jaraknya dengan Aruna tak lagi ada. Ia tetap mendekap bola seraya memerhatikan sekitarnya. Revian juga berharap bahwa Raka membawanya pergi dari sini dengan segera.
Ketika Revian merasakan resleting tasnya dibuka, ia segera menoleh. Dilayangkannya tatapan tajam yang sekiranya membuat Aruna takut. Nyatanya, gadis itu malah memamerkan gigi putihnya yang rapi sambil mengangkat kedua jari membentuk huruf V.
Lelaki itu otomatis menaikkan sebelah alisnya lalu bertanya, "Ngapain lo?"
"Enggak kok, enggak." Aruna menggelengkan kepalanya. Tersenyum, gadis itu mencoba mengambil bola basket yang dibawa Revian.
Berdecak untuk kesekian kali, namun Revian memberikan bolanya secara sukarela. Lantas ia memindahkan tasnya di pangkuan dan menutup resleting yang sempat dibuka Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Criticalove [SELESAI]
Teen FictionYou gave me a reason to keep on breathing. [Criticalove] Aruna. Banyak orang yang mengenalnya sebagai gadis periang, cantik, baik, penuh semangat, dan juga pintar. Namun siapa sangka, Aruna yang selalu terlihat baik-baik saja nyatanya punya banyak l...