︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶
Rumah enggak selalu tentang kenyamanan. Nyatanya, terkadang rumah yang ditinggali tidak bisa memberikan kehangatan dan rasa nyaman yang didambakan.
──────────────────
01. 𝐃inginnya sebuah 𝐫umah
Suara alarm berdering memecah hening, membangunkan seorang remaja laki-laki dari alam mimpinya. Dengan gerakan lambat, ia membuka matanya, meregangkan tubuh yang masih enggan beranjak dari peraduan. Jemarinya terulur mematikan dering keras yang seolah tak henti-henti menuntutnya untuk bangkit.
Hari baru, namun baginya tak ada yang istimewa. Hanya sekedar hari yang lain di dalam bulan dan tahun yang sama.
Arion duduk di tepi ranjang, mata menatap kosong pada lantai dingin di bawah kakinya. Sesekali ia menguap, mencoba meraih sisa-sisa mimpi yang perlahan mulai memudar. Namun, kesunyian masih kembali menyergap, dan ia hanya terduduk diam di sisi ranjang, termenung dalam diam.
Dengan berat hati, ia memaksa tubuh tak bertenaganya menuju lemari. Meraih handuk, setelah itu ia melangkah dengan tenang menuju kamar mandi. Segera, air dingin menyentuh kulitnya, memberikan sensasi segar yang sayangnya tak mampu mengusir kekosongan di dalam dirinya.
Beberapa menit kemudian, Arion telah siap dengan setelan wisudanya—abu-abu dan putih, warna-warna yang terasa asing, seolah tak memiliki makna. Ia merapikan rambutnya, menatap bayangan diri di cermin. Namun, tak ada rasa bangga, tak ada kebahagiaan yang memancar dari tatapannya.
Bagi banyak orang, hari kelulusan adalah saat yang paling dinanti—momen penuh suka cita setelah bertahun-tahun menjalani rutinitas di lingkungan yang sama, bersama orang-orang yang sudah tak asing lagi di penglihatan. Namun, bagi Arion, hari ini hanyalah hari biasa yang tak meninggalkan kesan. Semua datar, dan tak berwarna.
Sejak kecil, Arion telah terbiasa sendirian. Temannya bisa dihitung dengan jari, dan bahkan mereka yang mengaku teman sejati, seringkali hanya mendekat karena menginginkan hartanya. Tak ada yang benar-benar tulus. Oleh sebab itu, Arion lebih memilih kesunyian. Di perpustakaan sekolah yang sejuk dan sepi, ia merasa menemukan pelarian dari dunia luar yang penuh kepura-puraan semata.
Hari kelulusan ini, seperti hari-hari sebelumnya, hanya akan dihadiri oleh Arion sendiri. Kedua orang tuanya? Terlalu sibuk dengan urusan bisnis. Bahkan untuk sekedar menyapa, mereka tak pernah punya waktu. Hadir di acara sebesar ini? Jelas bukan prioritas utama bagi mereka.
Senyap terasa semakin mencekam ketika Arion menatap dirinya di cermin. "Udah tiga tahun gue di sekolah itu," gumamnya, suaranya terdengar berat.
"Tiga tahun juga gue makin jauh dari papa sama mama. Ketemu mereka? Udah terasa langka. Ngomong langsung? Apalagi. Mungkin cuma beberapa kata selama ini."
Bohong jika Arion tak peduli. Bohong jika ia berkata tak merasa ditinggalkan. Dan, bohong jika ia bilang semuanya baik-baik saja. Faktanya, setiap hari terasa abu-abu. Hidupnya seperti layar televisi tua yang berwarna pudar—hitam, putih, dan dingin.
Rumah, tempat yang seharusnya penuh kehangatan, kini hanya jadi bangunan megah yang kosong. Seperti jiwanya yang terperangkap di dalam kesendirian.
──────────────────
Arion menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa getir yang menjalari dadanya. Kakinya melangkah pelan menuju pintu kamar, membuka daun pintu yang berderit pelan. Koridor rumah itu terasa sepi, hening, hanya ditemani pantulan cahaya matahari yang menyeruak lewat celah jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]
Teen Fiction"𝘎𝘶𝘦 𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘯𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢, 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘦 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳." Arion tid...