ー Journey 07.

42 16 12
                                    

︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶

"Mungkin lo butuh waktu buat menerima perubahan itu."

– Harvian Janundrama

──────────────────

07. 𝐇arvian dan kalimatnya

Setelah kembali ke kamar kosannya, Arion merebahkan diri di atas kasur dengan ponselnya di genggaman. Percakapan tadi bersama Lenoel masih membekas di pikirannya. Kata-kata Lenoel tentang menciptakan tempat sendiri dan kehangatan yang muncul di antara mereka membuat Arion merasa lebih baik, meski hanya sedikit.

Namun, begitu dirinya mulai menatap langit-langit kamar, kenangan masa kecilnya tiba-tiba mengalir deras. Ia teringat saat masih kecil, ketika segalanya terasa lebih sederhana. Waktu itu, ia sering bermain di halaman belakang rumah bersama ibunya. Halaman itu penuh dengan tanaman bunga, persis seperti taman di kosan Sayendra, hanya saja lebih besar dan lebih terawat. Mama selalu ada di sana, menemaninya bermain sambil tertawa hangat.

Arion menutup matanya, mencoba menghidupkan kembali kenangan itu. Ia bisa melihat dirinya yang berusia lima atau enam tahun, berlari-lari di sekitar taman, mencoba menangkap kupu-kupu. Mama, dengan senyumnya yang lembut, berdiri di dekatnya, tertawa kecil sambil memperhatikan. Arion kecil sangat menyukai saat-saat itu. Di masa itu, rasanya perhatian Mama dan Papa hanya terfokus padanya, membuat dunia kecilnya terasa begitu penuh kasih sayang.

Namun, seiring bertambahnya usia, semua berubah. Orang tuanya semakin sibuk, dan Arion mulai merasakan jarak yang perlahan tercipta di antara mereka. Waktu yang dulu mereka habiskan bersama kini tergantikan oleh pekerjaan, rapat, dan kesibukan lainnya. Hubungan yang dulunya hangat dan penuh perhatian menjadi dingin, hingga akhirnya pesan-pesan singkat seperti yang ia terima pagi tadi menjadi satu-satunya komunikasi.

Arion membuka matanya, menatap langit-langit kamar dengan perasaan hampa. Masa kecilnya yang dulu terasa begitu penuh warna kini hanya tinggal bayangan samar. Ia mengingat dengan jelas ketika ia pertama kali merasa tersisih—saat ulang tahunnya yang kesepuluh. Hari itu, ia menunggu di ruang tamu dengan penuh antusiasme, menanti orang tuanya pulang untuk merayakan. Tapi yang datang bukanlah Mama dan Papa, melainkan pengasuhnya, yang membawa kue ulang tahun dan berusaha membuat suasana menjadi meriah. Mama dan Papa akhirnya pulang larut malam, hanya memberi selamat secara singkat sebelum pergi tidur.

Sejak saat itu, Arion merasa hubungannya dengan mereka tidak pernah sama lagi. Ia mulai jarang meminta perhatian, bahkan berhenti berharap. Dan kini, saat sudah beranjak dewasa, ia merasa hubungan mereka semakin menjauh. Meskipun materi selalu tersedia, perasaan kehangatan dan kasih sayang yang dulu ia rasakan telah lama menghilang.

Arion mendesah panjang, rasa sesak di dadanya semakin terasa setelah mengingat semua itu. Ia tidak bisa menyangkal bahwa di dalam hatinya, ia masih sangat merindukan masa-masa di mana keluarganya masih utuh, saat kasih sayang orang tuanya masih nyata, bukan hanya berupa formalitas dalam pesan singkat.

Saat memikirkan ini, suara-suara tawa teman-temannya terdengar dari luar kamar, mungkin mereka masih bercanda di taman. Suara itu mengingatkan Arion bahwa ia sekarang berada di tempat yang berbeda, di antara orang-orang yang meski baru ia kenal, sudah mulai memberi perasaan yang lebih hangat daripada yang ia rasakan di rumahnya sendiri.

“Gue harus nyiptain tempat gue sendiri…” gumamnya, mengingat kata-kata Lenoel tadi. Mungkin benar, pikirnya, kosan Sayendra ini, dengan segala kekurangan dan kesederhanaannya, bisa menjadi tempat di mana ia menemukan kenyamanan yang selama ini ia cari. Tapi tetap saja, jauh di lubuk hatinya, ada bagian yang masih mendambakan perhatian dari orang tuanya.

Di tengah keheningan kamar, pintu tiba-tiba terbuka perlahan. Harvian masuk dengan langkah santai, senyumnya lebar seperti biasa. Ia membawa jaket dan tampak siap untuk pergi ke suatu tempat. "Yon, kita mau jalan-jalan ke taman di luar kota. Katanya, tempatnya bagus buat ngilangin penat. Lo ikut, nggak?" tanya Harvian, suaranya riang.

Namun, begitu melihat ekspresi muram Arion yang tengah berbaring dengan tatapan kosong ke langit-langit, Harvian menghentikan langkahnya. Senyum di wajahnya memudar sedikit, dan ia mendekati tempat tidur Arion, duduk di kursi yang terletak di dekatnya.

"Lo kenapa, Yon?" tanya Harvian, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Kelihatannya lo nggak baik-baik aja."

Arion yang semula dalam posisi berbaring, lantas mengubah posisinya menjadi duduk menghadap ke arah Harvian. "Gapapa, gue... cuma kangen sama masa dulu."

Harvian mengangguk pelan, tidak memaksa. Ia tahu, meski Arion jarang bercerita banyak soal perasaannya, ada sesuatu yang lebih berat kali ini. "Mau cerita?" tawarnya, memberikan kesempatan bagi Arion untuk membuka diri jika ia merasa siap.

Arion terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus bercerita atau tidak. Setelah menghela napas panjang, akhirnya ia berkata, "Gue cuma... lagi mikirin keluarga gue, Vi. Rasanya jauh. Dulu kita deket, tapi sekarang semuanya berubah. Gue nggak ngerasa punya tempat di rumah."

Harvian mendengarkan dengan seksama, matanya penuh perhatian. Ia tahu betapa pentingnya keluarga bagi seseorang, dan mendengar bahwa Arion merasa seperti itu pasti berat. "Gue paham, Yon. Kadang hubungan sama keluarga bisa berubah tanpa kita sadari. Tapi lo nggak harus ngerasain semua itu sendirian."

Arion menatap Harvian, sedikit tersentuh oleh perhatiannya. "Lo tahu nggak, waktu kecil gue sering main sama Mama di taman. Dulu dia selalu ada buat gue. Tapi sekarang... semua rasanya formal, kayak hubungan kita sekadar kewajiban. Nggak ada lagi kehangatan itu."

Harvian mengangguk lagi, mencoba memproses perasaan Arion. "Gue ngerti perasaan lo. Kadang kita berharap orang tua tetap sama kayak dulu, tapi kenyataan bisa berubah. Yang penting sekarang, lo punya kami di sini. Mungkin lo butuh waktu buat menerima perubahan itu, tapi lo nggak sendiri."

Arion tersenyum tipis. "Iya, gue tahu. Cuma kadang susah nerima kalau orang yang dulu deket sama lo sekarang kayak orang asing."

Harvian mengangguk, "Dari pada sedih-sedih, mending kita healing bareng yang lain. Tuh, mereka udah pada di bawah, Bang Noel sama Chandra yang bawa mobilnya."

"Gue ganti pakaian dulu. Lo duluan aja." mendengar ucapan Arion, Harvian mengangguk dan kemudian beranjak dari kamar.

Sepeninggalan Harvian, di dalam keheningan kamar kosan Sayendra, Arion perlahan mulai merasakan ketenangan yang sederhana. Meskipun ia masih berusaha mencari jawaban tentang hubungannya dengan keluarganya, setidaknya ia kini tahu bahwa ada tempat di mana ia bisa merasa diterima, bahkan jika tempat itu tidak sempurna.

"Ya, setidaknya sekarang gue punya mereka, kan?"

"Dan gue selalu berharap, semoga semua ini bisa jadi awal yang baru buat gue."

─────────☆─────────

Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang