ー Journey 08.

37 15 15
                                    

︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶

"Jarak dengan keluarga bisa terasa menyesakkan, tapi kebahagiaan bukan selalu tentang mendekatkan diri pada mereka yang telah menjauh, melainkan menemukan kedamaian di dalam diri sendiri."

ー Arza Devan Putra.

──────────────────

08. 𝐃anau, 𝐀rza, dan 𝐤etenangannya

Arion, Harvian, dan teman-temannya tiba di taman yang mereka bicarakan pagi itu. Taman tersebut terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, memberikan suasana yang tenang dan segar. Pohon-pohon rindang dan hamparan rumput hijau menjadi latar sempurna untuk melepas penat. Sebuah danau kecil di tengah taman menjadi pusat perhatian, memantulkan cahaya senja yang mulai turun.

Arion turun dari mobil sambil menghela napas panjang, menikmati udara sore yang menenangkan. Di sekelilingnya, teman-temannya—Harvian, Samudra, Ilendra, dan yang lain—sudah mulai sibuk bercanda dan bermain di sekitaran taman. Harvian melempar bola kecil ke arah Samudra, sementara Ilendra duduk di bangku taman, tertawa kecil melihat kejenakaan mereka.

Arion berjalan sedikit menjauh dari keramaian, mendekati danau. Di sana, ia bisa merasakan ketenangan yang berbeda, sesuatu yang jarang ia rasakan belakangan ini. Ia memandang ke air yang tenang, memikirkan banyak hal yang berputar di benaknya.

“Ada yang lagi merenung, nih,” sebuah suara lembut terdengar dari belakangnya.

Arion menoleh dan melihat Arza, salah satu teman dari kamar sebelah, yang ikut dengan mereka ke taman ini. Ia tersenyum kecil, lalu duduk di bangku yang tak jauh dari Arion.

“Gue nggak merenung, kok,” jawab Arion, meskipun nadanya terdengar sebaliknya. “Cuma… menikmati suasana aja.”

Arza tertawa kecil, lalu menatap Arion dengan tatapan yang tenang. “Dari tadi gue perhatiin, lo kayak lagi banyak pikiran. Kalau mau cerita, gue ada, loh.”

Arion menatap Arza sejenak, merasa ada kejujuran dalam tawarannya. Meskipun baru kenal, Arza punya aura yang membuat Arion merasa nyaman. Tanpa berpikir panjang, Arion duduk di sampingnya, memandang ke arah danau yang sama.

“Keluarga, Za,” ujar Arion pelan, memulai pembicaraan. “Lo pernah ngerasa jauh sama keluarga lo sendiri?”

Arza mendengarkan dengan seksama, wajahnya serius. “Iya, pernah. Gue rasa semua orang pasti pernah ngalamin itu, entah seberapa dekat kita sama keluarga. Tapi… gue rasa buat lo, ini lebih dari sekadar jarak, ya?”

Arion mengangguk, matanya sedikit meredup. “Iya, gue ngerasa kayak mereka nggak peduli lagi. Sejak gue kecil, mereka makin sibuk, makin jarang ada buat gue. Sekarang, gue cuma dapat pesan-pesan singkat dari mereka, kayak formalitas aja.”

Arza menatap Arion dengan penuh empati. “Itu pasti berat. Apalagi kalau lo dulu dekat sama mereka, kan?”

“Dulu banget, gue sama Mama selalu main di taman rumah. Dulu dia selalu ada buat gue. Tapi sekarang, semuanya beda. Gue jarang lihat mereka, bahkan buat ngobrol biasa pun susah. Kayak sekarang, gue tinggal di kosan, dan mereka… ya, kayak nggak peduli aja. Mereka nggak tahu gue ngerasa sendiri.”

Arza menghela napas pelan, lalu menatap jauh ke arah danau, membiarkan kata-kata Arion mengalir. “Lo tau nggak, kadang gue ngerasa… hubungan keluarga itu kayak danau ini,” katanya sambil mengarahkan pandangannya ke air yang tenang di depan mereka. “Kadang tenang, kadang ada riaknya. Tapi riak-riak itu nggak selalu berarti buruk. Mungkin sekarang lo lagi di fase di mana hubungan lo sama orang tua lo lagi tenang, tapi nggak hangat.”

Arion memandang danau yang sama, mencoba mencerna analogi yang diberikan Arza. “Tapi gimana caranya buat ngerasain hangat lagi? Gue udah coba, Za. Gue udah coba buat deketin mereka, tapi kayak nggak ada respons. Gue cuma merasa semakin jauh.”

Arza terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Mungkin lo perlu kasih waktu. Orang tua lo, mereka mungkin nggak tahu seberapa jauh mereka udah dari lo. Tapi kadang, orang dewasa juga butuh waktu buat sadar, buat ngerti bahwa anaknya butuh mereka. Gue yakin mereka sayang sama lo, cuma mungkin sekarang mereka lagi fokus ke hal lain.”

Arion mendengarkan kata-kata Arza dengan saksama, meskipun sebagian dirinya masih meragukan itu. “Lo yakin?” tanyanya, nadanya sedikit skeptis.

Arza tersenyum lembut. “Gue nggak bilang itu pasti mudah, tapi… lo juga harus kasih diri lo sendiri kesempatan. Jangan terlalu keras sama diri lo, Yon. Kadang kita ngira orang nggak peduli, tapi sebenarnya mereka juga lagi sibuk ngurus masalah mereka sendiri. Tapi, di sisi lain, lo juga nggak harus menunggu mereka buat ngerasain kebahagiaan.”

Arion memandang Arza dengan bingung. “Maksud lo?”

“Gue tahu lo kangen kehangatan dari keluarga lo. Tapi lo juga bisa menciptakan tempat di mana lo ngerasa nyaman dan diterima, kayak yang lo rasain sama kita di kosan. Nggak semuanya harus berasal dari keluarga inti, Yon. Kadang, lo bisa nemuin keluarga di tempat lain—di antara teman-teman, atau orang-orang yang peduli sama lo.”

Kata-kata Arza menyentuh hati Arion. Ia merenungkan itu sejenak, mencoba memikirkan apakah benar bahwa kehangatan bisa datang dari tempat lain, dari orang-orang yang mungkin bukan keluarganya, tapi tetap peduli padanya.

Matahari semakin merendah, sinarnya memantulkan warna oranye keemasan di permukaan danau. Suara tawa dari teman-teman mereka terdengar dari kejauhan, mengisi suasana yang hening di sekitar mereka.

“Lo bener, Za,” kata Arion akhirnya. “Gue harus berhenti nunggu sesuatu yang mungkin nggak akan datang, dan mulai ngerasain apa yang udah ada di depan gue.”

Arza tersenyum, puas melihat bahwa Arion mulai memahami maksudnya. “Itu yang gue maksud. Kadang, lo harus terima keadaan, tapi lo juga punya kekuatan buat menciptakan kebahagiaan lo sendiri.”

Arion meresapi kata-kata itu dengan penuh perhatian. Ia merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Arza. Mungkin memang benar, bahwa meskipun keluarganya jauh, ia bisa menemukan kehangatan di tempat-tempat yang tak terduga—seperti di antara teman-temannya di Kosan Sayendra.

Thanks, Za. Gue nggak tahu harus ngomong apa lagi, tapi… gue bener-bener butuh ini,” kata Arion sambil tersenyum tipis.

Arza mengangguk, lalu berdiri. “Sama-sama, Yon. Gue selalu di sini kalau lo butuh cerita.”

Arion bangkit, mengikuti Arza kembali ke tempat teman-teman mereka yang masih bercanda dan bermain di taman. Suara tawa mereka semakin jelas, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arion merasa sedikit lebih damai. Meskipun masalah keluarganya belum sepenuhnya selesai, setidaknya ia tahu bahwa di sini, di Kosan Sayendra, ada orang-orang yang peduli padanya. Orang-orang yang, meskipun bukan keluarga, telah mulai menjadi bagian penting dalam hidupnya.

─────────☆─────────

Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang