︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶
Kadang, ada saat di mana kita terpaksa untuk nurut dengan keadaan yang kian semakin memaksa.
──────────────────
22. 𝐊ini, apa yang bisa dilakukan?
Malam kini menjemput. Sebagian penghuni kosan kian terlelap dalam tidur yang tenang, bersamaan dengan suasana sejuk yang membersamai.
Arion, Samudra dan Ilendra sudah menjelajahi alam mimpi dengan damai, menyisakan Harvian yang kini masih berjaga di malam sunyi itu dengan alibi untuk menuntaskan tugas kuliahnya yang menuntut deadline.
Harvian memilih menyelesaikan tugasnya di ruang santai di kosan Sayendra. Ruangan itu sudah gelap, sumber cahaya yang tersisa hanyalah dari layar laptop milik Harvian yang dengan setia masih menampilkan tugasnya. Sementara Harvian kini diam, larut bersama dengan isi pikirannya yang terasa sangat ribut.
Pikirannya melayang jauh, kembali ke percakapan yang baru saja terjadi di telepon dengan orang tuanya. Percakapan yang membawanya pada sebuah keputusan yang berat, sebuah kenyataan yang tak pernah ia bayangkan akan datang begitu cepat.
Beberapa hari sebelumnya, Harvian mendapat telepon mendadak dari ibunya. Suaranya terdengar penuh kelelahan, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ada nada khawatir yang membuat Harvian langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Flashback:
"Ian," suara ibunya terdengar pelan namun tegas, "bisnis Bapakmu makin sulit sekarang. Toko sudah nggak seramai dulu, pelanggan juga makin sepi. Kita kesulitan membayar hutang dan biaya operasional. Kamu harus pulang dan bantu Bapak jualan."
Harvian tertegun, tak mampu merespons dengan cepat. Ia sudah tahu bahwa bisnis keluarganya, sebuah toko kelontong yang dikelola oleh Bapak, mengalami masa-masa sulit sejak pandemi. Namun, ia tak pernah mengira bahwa masalah keuangan keluarganya sudah sedemikian parah sampai ia harus dipanggil pulang.
"Tapi, Bu... aku baru mulai kuliah di sini," Harvian mencoba mencari kata-kata. "Aku baru aja beradaptasi dengan kehidupan kampus. Kalau aku pulang sekarang, gimana kuliahku?"
Ibunya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Ibu tahu ini berat buat kamu, Ian. Tapi kita nggak punya pilihan lain. Kamu anak laki-laki tertua, satu-satunya yang bisa bantu Bapak. Adik-adikmu masih kecil, mereka nggak bisa bantu banyak. Kita benar-benar butuh kamu."
Kata-kata ibunya terasa seperti beban berat yang diletakkan di pundaknya. Harvian tahu betul betapa keras ayah dan ibunya bekerja untuk membesarkan toko mereka. Sejak kecil, ia sering melihat orang tuanya bangun sebelum matahari terbit dan bekerja sampai larut malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi kali ini, situasinya berbeda. Bisnis keluarga bukan hanya soal kerja keras lagi-ini soal bertahan hidup.
"Berapa lama aku harus pulang, Bu?" Harvian akhirnya bertanya, mencoba mencari celah agar ia bisa tetap melanjutkan dunia kuliahnya.
Ibunya menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kita nggak tahu, Ian. Mungkin kamu harus menunda kuliahmu sementara. Sampai situasi keuangan kita membaik."
Menunda kuliah? Pikiran itu menghantam Harvian seperti gelombang dingin. Ia baru saja memulai perjalanan akademisnya, baru merasakan sedikit kebebasan dan kemandirian di kota baru. Sekarang, semuanya terancam hancur hanya karena keadaan yang di luar kendalinya. Ia mencintai keluarganya, namun meninggalkan semuanya dan kembali untuk membantu jualan terasa seperti mengubur mimpi yang baru saja ia bangun.
Setelah percakapan itu berakhir, Harvian hanya bisa terduduk lama, tenggelam dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ia tak bisa membiarkan keluarganya jatuh begitu saja. Namun di sisi lain, ia juga merasa terjepit di antara harapan untuk melanjutkan kuliahnya dan tanggung jawab sebagai seorang anak sulung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]
Teen Fiction"𝘎𝘶𝘦 𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘯𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢, 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘨𝘶𝘦 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘴𝘦𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬𝘥𝘪𝘳." Arion tid...