ー Journey 05.

42 21 16
                                    

︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶

Bahagia bukan selalu tentang finansial yang cukup, namun saat di mana kamu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang di sekitarmu yang peduli terhadapmu.

──────────────────

05. 𝐍otifikasi

Arion terbangun saat sinar matahari menembus tirai tipis yang menggantung di jendela kamar kosannya. Udara pagi masih sejuk, dan suasana kosan Sayendra yang baru ditempatinya beberapa hari ini cukup tenang. Ia mengerjapkan matanya perlahan, kemudian meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Seperti kebiasaannya, ia membuka aplikasi pesan untuk melihat apakah ada notifikasi penting.

Matanya terbelalak ketika melihat sebuah bubble pesan dari nomor yang jarang menghubunginya—Mama. Dengan cepat ia beralih posisi menjadi duduk di atas ranjang, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Jarinya bergerak ragu untuk membuka pesan tersebut, namun akhirnya ia membacanya.

Mama

|| Arion, mama dengar kamu sudah memilih kosan, ya?

Sebuah pertanyaan sederhana, namun entah mengapa membuat Arion seketika membatu. Sudah lama rasanya ia tidak mendapat pesan langsung dari ibunya. Pikirannya berkecamuk; mengapa tiba-tiba sekarang, setelah sekian lama mereka nyaris tidak berkomunikasi? Dengan cepat ia menggelengkan kepala, mencoba menepis harapan-harapan yang tak semestinya ia bangun, kemudian dengan sigap mengetik balasannya.

Iya. Jarak kampus dan rumah lumayan makan waktu, makanya Arion putuskan buat nge-kost. ||

Ia menatap layar ponselnya, menunggu respons dari wanita itu. Tak lama kemudian, balasan datang.

|| Jaga diri kamu, ya. Kalau butuh uang, kabari mama atau papa.

Arion menghela napas panjang setelah membaca pesan itu. Sebuah pesan yang singkat dan formal, seolah hanya sebatas kewajiban untuk mengingatkan anaknya. Hatinya terasa berat.

'Tapi yang sebenarnya Arion butuhkan hanyalah hadirnya kalian...'  batinnya dengan perasaan campur aduk. Ia terus memandangi roomchat-nya dengan sang Mama, berharap ada sesuatu yang lebih dari sekadar pesan singkat yang terasa sangat formal.

Sejenak, pikirannya melayang ke masa kecilnya, saat ia masih sering mendapatkan pelukan hangat dari ibunya, dan sapaan penuh kasih dari ayahnya. Namun, semua itu terasa seperti memori yang samar. Kini, keluarganya hanya hadir di balik layar ponsel, dalam bentuk pesan-pesan singkat. Sering kali, Arion berpikir apakah keluarganya masih benar-benar peduli kepadanya, ataukah mereka hanya sibuk dengan urusan milik masing-masing.

Suasana kamar kosan yang awalnya tenang kini terasa semakin sepi. Arion merasa ada kehampaan yang menyelimuti dirinya, meskipun ia tahu tiga penghuni lainnya masih tertidur di ranjang mereka masing-masing. Ia menatap sekeliling kamar; tumpukan buku-buku kuliah di meja belajar, beberapa pakaian yang belum sempat ia lipat, serta pemandangan jendela yang mengarah ke taman kecil di belakang kosan. Kosan ini memang jauh dari kemewahan rumahnya, namun ada sesuatu yang membuatnya lebih nyaman berada di sini dibandingkan di rumah.

“Ada apa, Yon?” sebuah suara yang terdengar sedikit serak mengejutkan Arion dari lamunannya. Harvian, salah satu teman sekamarnya, sudah bangun dan tengah merentangkan badannya di tempat tidur.

“Nggak ada apa-apa,” jawab Arion singkat sambil memasukkan ponsel ke saku celananya. “Cuma lagi baca pesan dari rumah.”

Harvian mendekati Arion dan menepuk bahunya. “Gue denger lo jarang banget pulang ke rumah. Kenapa, sih? Rumah lo kan enak, gede, terus pastinya nyaman pula.”

Arion tersenyum tipis, namun tak menjawab. Ia hanya menatap Harvian sejenak sebelum akhirnya berdiri dari ranjangnya. “Gapapa, btw mau sarapan, nggak?” Arion mencoba mengalihkan pembicaraan.

Harvian tampak mengerti dan segera mengangguk. “Sarapan enak, nih. Ajak yang lain juga, yuk!” Harvian berjalan ke arah ranjang Samudra dan Ilendra, dua penghuni lain yang masih terlelap.

Setelah beberapa saat membangunkan mereka, akhirnya keempat remaja itu keluar dari kamar dan menuju kantin kecil di belakang kosan. Taman yang ada di dekat kantin dipenuhi dengan bunga-bunga sederhana, namun cukup memberikan nuansa segar di pagi itu. Saat duduk di bangku taman, Arion merasakan semilir angin yang membuat suasana semakin nyaman. Obrolan ringan antara mereka mulai mengalir, membahas kehidupan kuliah, tugas, dan rencana mereka di akhir pekan.

Harvian mengetuk pintu kamar sebelah yang mereka ketahui para penghuninya adalah Bimayu, Lenoel, Chandrana dan juga Arza. Berulang kali Harvian mengetuk secara perlahan, tak juga membuahkan hasil. Merasa sudah lelah, Harvian kembali ke kamarnya dan kembali lagi dengan sebuah kunci cadangan yang diketahui adalah milik kamar teman-temannya itu.

"Loh, itu kunci kamar ini?" tanya Arion tampak heran sembari memandang punggung Harvian yang masih sibuk dengan niatnya untuk membobol kamar itu.

Samudra mengangguk, "Gausah heran lagi, si Harvi memang begini modelnya, agak absurd tapi pinter."

Ceklek...

Kamar tersebut berhasil di buka oleh Harvian dengan menggunakan kunci cadangan yang telah ia simpan dari jauh-jauh hari. Dengan langkah yang pasti, ia pun memasuki kamar tersebut yang masih tampak gelap karena tirainya belum dibuka.

"Mereka kayak habis mabuk." ujar Ilendra dengan maksud bercanda, sementara Arion hanya terkekeh kecil dibuatnya.

Harvian lantas membuka gorden berwarna hitam yang menggantung di kamar itu, sinar matahari pagi yang terik pun langsung saja menerobos masuk, membuat para penghuninya yang tadi masih lelap tertidur perlahan terbangun.

"Anjir, siapa yang buka gordennya?!" kesal Chandrana. Harvian hanya terkekeh, tak mempedulikan perkataan kesal Chandrana.

"Gue, kenapa? Bangun guys, kebo ya kalian?"

Lenoel menggeliat pelan, "Anying lah, gue baru balik ke kosan jam 2 tadi pagi udah disuruh bangun."

Bimayu tanpa banyak omong lantas bangkit dari posisi rebahannya, dan memilih mendudukkan dirinya di atas ranjang dengan jiwanya yang setengah masih berada di buana mimpinya. Sementara Arza juga melakukan hal yang sama.

"Sarapan, yuk? Gue udah lapar ini." ajak Ilendra, dan diangguki oleh keempat penghuni kamar itu.

"Gue cuci muka bentar, kalian duluan terus ke taman belakang." perintah Bimayu lantas dengan segera langsung dingguki oleh keempatnya.

Beberapa menit berlalu, kini delapan laki-laki itu telah berkumpul di halaman belakang kosan Sayendra yang tampak sejuk dan adem dengan semilir angin pagi yang terasa menyejukkan. Ditemani oleh delapan nasi bungkus dan delapan es teh membuat pagi mereka menjadi lebih damai.

Obrolan ringan pun kembali mengalir, kali ini dengan lebih banyak orang. Arion merasa ada sesuatu yang berbeda dari suasana ini—sesuatu yang tidak ia temukan di rumah. Meskipun mereka belum saling mengenal terlalu lama, ada kehangatan yang perlahan muncul di antara mereka. Suatu perasaan kebersamaan yang sudah lama hilang dari hidup Arion.

Di tengah canda tawa dan obrolan pagi itu, Arion menyadari satu hal: mungkin, inilah yang ia butuhkan. Bukan rumah mewah, bukan uang, tapi kehadiran orang-orang yang benar-benar peduli. Kosan Sayendra, yang sederhana dan jauh dari kemewahan, memberinya ruang untuk menemukan kembali arti kebersamaan.

─────────☆─────────

Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang