ー Journey 06.

37 19 16
                                    

︶⊹︶︶୨ 🏠 ୧︶︶⊹︶

"Kita semua butuh tempat buat ngerasa diterima."

   – Lenoel Jakatra.

──────────────────

06. 𝐃eeptalk 𝐋enoel

Setelah tawa dan obrolan ringan perlahan mereda, sebagian dari mereka mulai menyelesaikan makanannya. Suasana di taman belakang kosan Sayendra yang sejuk memberikan kenyamanan tersendiri. Perlahan, satu per satu teman-temannya bangkit dan kembali ke kamar mereka, meninggalkan Arion dan Lenoel yang masih duduk di bangku kayu panjang, berhadapan dengan taman kecil.

Lenoel, yang memang terlihat pendiam di antara yang lainnya, menyesap es tehnya pelan-pelan, memandang ke arah taman. Sementara Arion sibuk memandangi sisa makanan di hadapannya, pikirannya kembali pada pesan dari ibunya pagi tadi. Entah kenapa, suasana hatinya yang tadi sempat cerah perlahan kembali suram.

Setelah beberapa saat diam, Lenoel akhirnya membuka percakapan. “Kayaknya, lo lagi mikirin sesuatu, Yon.” Suaranya datar, namun ada nada penasaran yang nyata di baliknya.

Arion menoleh, sedikit terkejut mendapati Lenoel menyadari hal itu. “Ya, mungkin,” jawabnya pelan, mencoba tersenyum tipis. Tapi Lenoel tetap menatapnya serius, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Ada masalah sama rumah, ya?” Lenoel melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. Arion hanya bisa menghela napas, mengalihkan pandangannya ke arah bunga-bunga di taman.

“Bukan masalah, sih. Cuma... ya, hubungan gue sama keluarga gue nggak begitu dekat. Udah lama, sih, kayak gini.”

Lenoel mengangguk pelan, memberi ruang bagi Arion untuk melanjutkan ceritanya. Dan meski awalnya ragu, entah kenapa Arion merasa nyaman untuk berbicara lebih terbuka kali ini.

“Mama tadi nge-chat, nanya soal kosan. Tapi entah kenapa, rasanya... formal banget. Kayak ngomong sama orang yang nggak terlalu kenal. Padahal, dulu gue deket banget sama mereka, terutama sama Mama.”

Lenoel masih terdiam, membiarkan Arion berbicara.

“Gue nggak ngerti, sih, Bang. Apa yang salah. Sekarang rasanya kayak gue nggak ada tempat di rumah. Nggak ada yang benar-benar peduli. Atau mungkin gue yang terlalu banyak berharap?”

Lenoel mengangguk sekali lagi, memahami perasaan Arion. Ia menyesap es tehnya sebelum akhirnya berkata, “Gue ngerti perasaan lo, Yon. Gue juga ngerasain hal yang mungkin hampir serupa.”

Arion menoleh, tampak penasaran. “Serius? Lo juga punya masalah sama keluarga lo?”

Lenoel tersenyum tipis, namun sedikit getir. “Iya. Dari luar, kelihatan mungkin keluarga gue baik-baik aja. Rumah gue gede, bokap punya usaha, nyokap juga perhatian banget sama gue. Tapi... ya gitu. Terkadang perhatian itu nggak cukup kalau lo nggak merasa benar-benar didengar atau dimengerti.”

Arion mendengarkan dengan seksama. Lenoel jarang berbicara soal masalah pribadinya, dan kali ini ia bisa merasakan ada sesuatu yang mendalam.

“Mereka selalu ngasih apa yang gue butuhin, dari segi materi. Tapi mereka nggak pernah bener-bener ada buat gue. Gue cuma anak yang mereka banggain di depan orang lain. Pas gue punya masalah atau ngerasa kesepian, sosok mereka nggak ada sebagai tempat buat gue ngomong dan bercerita.”

Arion terdiam, merasa ucapan Lenoel mencerminkan apa yang ia rasakan selama ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa Lenoel, yang terlihat selalu santai dan tak terbebani, ternyata membawa beban yang serupa.

“Kita kadang mengharapkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang tua, tapi mereka mungkin nggak tau cara ngasihnya dengan benar,” lanjut Lenoel sambil tersenyum simpul. “Mereka juga manusia, Yon. Punya kekurangan. Mereka juga baru pertama kalinya menjadi orang tua.”

Arion menatap Lenoel dalam-dalam. “Jadi menurut Bang Noel, gimana? Apa kita cuma harus terima aja keadaan kayak gini?”

Lenoel menggeleng. “Nggak sepenuhnya. Gue sendiri juga masih nyari jawabannya sampai sekarang. Dari semua pertanyaan itu, satu hal yang gue pelajarin, lo harus nyiptain tempat lo sendiri. Kalau lo ngerasa nggak nyaman di rumah, coba buat tempat yang bikin lo nyaman di luar. Kayak kosan ini, misalnya.”

Arion mengangguk pelan, menyerap kata-kata Lenoel dengn seksama. “Kosan ini, ya?”

“Iya,” jawab Lenoel. “Mungkin di sini lo bisa mulai ngerasa ada tempat buat diri lo sendiri. Lo nggak sendirian di sini, Yon. Kita mungkin bukan keluarga, tapi kita bisa saling dukung. Kayak tadi, pas kita makan bareng. Itu kan lebih berarti daripada cuma duduk sendirian di rumah mewah.”

Arion tersenyum kecil, merasa sedikit lebih ringan. Kata-kata Lenoel mengingatkannya pada kehangatan yang ia rasakan saat mereka makan bersama tadi. Meskipun sederhana, momen-momen kecil seperti itu memberikan perasaan yang tak bisa ia temukan di rumah.

“Makasih, Bang. Lo bener,” ucap Arion pelan. “Mungkin ini yang gue butuhin sekarang. Tempat buat gue sendiri, meskipun kecil dan sederhana.”

Lenoel menepuk pundak Arion, tersenyum lebih lebar. “Kita semua butuh tempat buat ngerasa diterima, Yon. Dan gue yakin, lo bakal nemuin tempat lo di sini. Di kosan ini, bareng sama kita-kita.”

Arion menatap Lenoel dengan rasa terima kasih yang mendalam. Meskipun ia belum sepenuhnya tahu bagaimana menghadapi masalah dengan keluarganya, setidaknya sekarang ia merasa lebih baik. Kosan Sayendra, dengan segala kesederhanaannya, mungkin adalah tempat di mana ia bisa mulai menemukan kembali arti kebersamaan—dan, yang lebih penting, menemukan dirinya sendiri.

Matahari semakin tinggi, dan angin pagi yang sejuk mulai berangsur menghangat. Dengan suasana hati yang lebih ringan, Arion dan Lenoel akhirnya berdiri dari bangku taman, berjalan kembali menuju kamar mereka. Hari itu mungkin tak sepenuhnya cerah bagi Arion, tapi setidaknya ia kini tahu bahwa ia tidak sendirian.

─────────☆─────────

Simpul dibalik Sayendra's || StrayKids [ END ✅ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang