28

3.2K 559 171
                                    

"Kalo kamu nggak ada disini, terus mama gimana sayang? Buat apa mama hidup kalo kamu gak ada?"

Air mata terus mengalir deras di pipinya, bahkan masker yang dipakainya pun sudah basah. Dengan tangan gemetar, Gracia melepas masker itu dan mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri sejenak. Namun, hatinya terus terasa hancur, seolah-olah waktu berhenti di hadapan kenyataan yang tak ingin ia terima.

Jika tidak rela, tetap tidak rela. Gracia sangat belum siap kehilanganmu kesayangannya. Ia menggigit bibirnya untuk menahan isak, meski tahu bahwa ia harus tangguh, harus kuat untuk menjalani kehidupannya.

"Nggak bisa, Zeevara... mama gak bisa..."

Ia menekan dadanya, berharap rasa sakit itu bisa pergi, tapi tak ada yang berubah. Sesaknya semakin menjadi, hingga Gracia memukul dadanya sendiri, mencoba mengalihkan rasa sakit yang lebih mendalam ketakutan kehilangan Zee.

Setiap detik yang berlalu terasa menyakitkan, dan kelelahan semakin merasuk ke dalam tulang-tulangnya. Ia ingin terus berjuang, ingin tetap ada untuk Zee, tapi tak ada yang tersisa dalam dirinya selain rasa putus asa yang menghantui setiap tarikan napasnya.

Perlahan, Gracia menyatukan dahinya dengan dahi Zee, merasakan dinginnya kulit Zeevara yang begitu rapuh.

"Sayangnya mama, cintanya mama... kamu sayang kan sama mama? Masa tega sih hm tinggalin mamanya?" lirih Gracia bertanya, tatapannya begitu sendu menatap wajah anaknya yang kini hanya berjarak 1 cm.

"Zee... mama mohon... bertahan, sayang," bisiknya.

Ucapannya seperti doa yang terus terulang di hatinya, meski logikanya sebagai dokter sudah memberi tahu apa yang sudah terjadi. Namun, sebagai ibu, tentu terus berbeda, ia tak mau menyerah.

"Sayang, hei... anak cantiknya mama, bisa ya? Bertahan demi mama?"

Wanita berumur 33 tahun itu mengecup dahi Zee dengan lembut, lalu mencium pipinya, hidungnya, matanya yang terpejam, seolah ingin memberikan sedikit kehangatan. Hingga akhirnya, Gracia mencium bibir Zee sangat lama, berharap ada keajaiban yang datang. Tangannya pun bergerak, mencari jari-jari Zee, lalu menautkan jemari mereka. Sentuhan itu membuat Gracia semakin hancur, tapi juga memberinya kekuatan.

"Tolong, Tuhan... kembalikan Zee padaku," batin Gracia.

Tangannya masih erat menggenggam jemari Zee seolah takut jika ia melepaskannya, harapan pun akan hilang bersamaan dengan itu. Isaknya sudah tak tertahan, namun suaranya tetap pelan, penuh doa dan permohonan.

"Aku mohon... berikan aku kesempatan menjadi ibu yang lebih baik untuknya. Aku juga masih ingin banyak menghabiskan waktu bersamanya, membimbingnya, melindunginya..." suara Gracia bergetar, nyaris tak terdengar di antara desahan napas yang berat.

"Aku juga ingin ia tau bahwa aku mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini."

Gracia memejamkan mata, air matanya membasahi wajah Zee. Hatinya begitu sesak, seolah seluruh dunia mengepungnya dengan rasa sakit yang tak berujung. Ia terus memohon, mengaitkan seluruh harapannya pada doa-doa yang ia panjatkan, mencoba meraih secercah cahaya di tengah gelapnya ketidakpastian.

"Tuhan... Zee baru saja tahu bahwa aku adalah ibunya hanya beberapa bulan... tolong, tolong berikan aku dan dia kesempatan untuk merasakan cinta yang kita miliki sebagai sepasang ibu dan anak lebih lama..." Gracia menggigit bibirnya, mencoba menahan isakan.

Rasa sesal menyesakkan dadanya. Betapa ia merasa masih banyak hal yang belum sempat dilakukan, begitu banyak waktu yang hilang dahulu.

Tangannya semakin erat menggenggam jemari Zee, seolah tak ingin melepasnya. Bibirnya mencium wajah Zee lagi.

Beloved S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang