30

3.4K 530 98
                                    


Hari demi hari berlalu, Zee masih terbaring di dalam ICU, tubuhnya juga masih di selimuti selang-selang dan mesin-mesin yang membantu menjaga setiap fungsinya tetap berjalan. Kondisinya belum stabil, jadi jika di pindahkan ke ruang inap belum memungkinkan.

Gracia tanpa lelah terus mendampingi anaknya, setiap detik terasa begitu lambat bagi Gracia. Pagi ini pun, seperti biasa ia duduk di samping ranjang Zee, matanya terus memandang wajah anaknya yang masih terlelap.

Gracia akhir-akhir ini sering sekali melamun, membuat Shanju yang selama ini menemaninya tak bisa menahan rasa kasihan walau hanya melihat dari luar.

Shanju yang kini sudah merasa steril memutuskan ingin masuk, ia menghela napasnya sebelum mendekat pada Gracia.

Cklek

"Gre, mami izin masuk ya." izin Shanju.

Gracia menatap Shanju sejenak dan mengangguk pelan. "Iya, mi."

"Kamu istirahat dulu ya? Udah berhari-hari lho kamu gini terus, mami ataupun Zee gak mau kamu sakit."

Namun, Gracia menggeleng. "Selama ini aku udah istirahat, orang kerjaan aku sekarang meriksa sama duduk-duduk aja disamping Zeevara." wanita itu tersenyum kecil sambil mengusap lembut dahi sang anak.

Shanju menggeleng tak setuju, sebenarnya yang Gracia butuhkan adalah istirahat yang lebih dari sekadar duduk.

"Istirahat itu bukan cuma duduk, Gracia. Kamu harus tidur, rileks, biar badan kamu kembali segar."

Mendengar itu, Gracia tersenyum getir. "Kalo jauh-jauh dari Zee yang ada aku gila, mi." suaranya bergetar, dipenuhi ketakutan dan kelelahan yang terpendam lama.

Shanju hanya bisa memeluk Gracia erat, memberikan kekuatan di tengah badai yang Gracia hadapi.

Shanju tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat melihat perubahan fisik Gracia. Putrinya yang dulu tampak lebih berisi, kini terlihat kurus. Pipi tembam yang dulu sering dibanggakan dan disukai oleh Zee pun sudah berubah menjadi tirus. Setiap kali Shanju memandang Gracia, hatinya terasa berat. Ia tahu beban yang Gracia pikul terlalu besar.

"Zeevara... sayang... cepet bangun ya nak, kasian mama kamu ini." batin Shanju amat memohon.

Wanita paruh baya itu melepaskan pelukannya dan mengusap surai Gracia lembut, setelah itu ia menciumnya seolah memberikan sedikit ketegaran.

"Gre, liat deh badan kamu, kamu harus jaga badan kamu. Kalau nanti Zee bangun dan liat kamu kaya gini, dia pasti bakal marah."

"Biarin aja, selama ini aku juga udah banyak nangis. Dia pasti udah marah banget sama aku."

"Bukan itu doang, tapi dia juga selalu suka pipi tembam kamu, tapi sekarang?" Shanju tak melanjutkan ucapannya, melainkan memegang pipi Gracia.

"Aku gak peduli. Lebih baik aku dimarahin sama Zee nanti, daripada harus istirahat sekarang dan ninggalin dia di sini."

"Kan bisa tuh tiduran di sof—"

Gracia menggeleng, tetap keras kepala. "Mi, aku gak mau. Aku udah bilang kan... selama aku masih bisa liat Zee di sini, aku gak butuh istirahat. Kalau Zee marah nanti, biarin aja. Aku lebih rela dimarahin daripada ninggalin dia, walaupun cuma sebentar." potong nya.

Shanju hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu, Gracia tak akan berubah pikiran. Cinta dan rasa khawatir seorang ibu yang begitu besar membuat Gracia mengabaikan dirinya sendiri. Tapi dalam hatinya, Shanju berharap agar putrinya bisa kuat melewati semua ini, tanpa harus kehilangan dirinya sendiri.

Beloved S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang