33

3.1K 555 130
                                    

Sudah satu jam berlalu sejak Gracia memeluk Zee dalam keheningan penuh haru. Sekarang, ia melepaskan pelukan itu, menyadari bahwa putrinya membutuhkan tempat lebih luas untuk tidur dengan nyaman.

"Sshhut... bobo yang nyenyak ya..."

Dengan hati-hati, Gracia turun kasur dan duduk kembali di kursi samping, tangannya tak berhenti mengusap kepala Zee dengan kelembutan seorang ibu yang selalu ingin memberikan rasa aman.

Namun, di saat itulah mata Zee mulai terbuka, menyipit dalam bingung, dan langsung merengek dengan suara yang lemah.

"Ih... mama kok gak peluk aku lagi?" tanya Zee pelan, suaranya serak namun sarat dengan kebutuhan untuk tetap berada dalam dekapan sang mama.

"Ututuu kok bangun sih, hm?" Gracia sontak berdiri dan menatap Zee sepenuhnya.

"Sakit mah... pas dipeluk mama ndak sakit, tapi kok mama malah lepasin peluknya." rengek Zee.

"Apanya? Apanya yang sakit hm?"

"Kaki aku, perih." rintihnya.

Zee memegangi selimut dengan tangannya, ia ingin menyingkirkan dan melihat apakah ada luka disana? Dan mengapa rasanya sakit sekali. Namun ternyata sulit di kala tangannya yang masih lemah itu tak mampu menyingkap selimutnya.

"Ih susah... mau bangun." mohon Zee menatap Gracia sungguh memohon.

Mengingat pemulihan Zee yang cukup bagus sejak siuman, Gracia akhirnya penuh kehati-hatian membantu Zee untuk duduk perlahan. Setiap gerakan kecil terasa berat bagi anak itu, tetapi Gracia tetap mendampinginya, menggenggam erat tangan dan pinggang anaknya.

"Pelan-pelan, sayang. Jangan sampai infusnya lepas."

Saat Zee menyingkap selimut dan celana yang menutupi kaki nya, pandangannya langsung jatuh pada luka dan memar yang masih membekas. Luka itu tampak perih, bahkan sebagian masih terbalut kasa yang belum benar-benar kering. Zee menelan ludah, dan sesaat kemudian air matanya mulai mengalir deras, menyisakan perasaan sakit dan perih yang tak hanya terasa di tubuh, tetapi juga di hatinya.

"Mama... sakit," lirih Zee, suaranya bergetar di tengah tangis yang mulai pecah.

Mendengar kesayangannya lagi-lagi mengeluh sakit, tanpa berlama-lama lagi Gracia menekan tombol pemanggil dokter, berharap ada suntikan pereda nyeri yang bisa segera mengurangi rasa sakit anaknya. Sambil menunggu, Gracia menarik kepala Zee ke pelukannya, mengusap-usap rambut lembutnya dengan penuh kasih.

"Sabar ya, sayang." bisik Gracia, suaranya nyaris tercekat oleh kesedihannya sendiri.

"Hiks sakit mama... kaki a-aku juga ja-jadi jelek hiks..."

"Nggak, nggak jelek... nanti mama pasti bantu kamu buat hilangin semua luka itu dan bekasnya juga. Okay? Kamu ndak boleh sedih." sahut Gracia lembut, menahan keras untuk tidak ikut menangis.

Zee mengangguk namun masih menangis bahkan sesenggukan, ia terus menyandarkan kepalanya di dada Gracia.

Bagi Gracia, setiap tangis Zee terasa seperti belati yang menembus hatinya, tetapi ia tahu bahwa kehadirannya di sini akan memberikan kekuatan bagi Zeevara.

Beberapa menit kemudian akhirnya Feni tiba, langsung mendekati ranjang. "Ada apa, Gre?" tanyanya, sambil melirik Zee yang masih menangis

"Zee butuh pereda nyeri, Fen. Dia ngeluh sakit tadi di bagian kakinya," ujar Gracia tegas, sambil merapikan posisi Zee agar lebih nyaman.

Feni segera menyiapkan suntikan pereda nyeri, namun saat Zee melihat jarum di tangan Feni, ia langsung tersentak.

"Nggak! Aku nggak mau disuntik, nggak mau mah hiks... ndak mau..." suara lemah Zee bergetar, tangannya menggenggam pergelangan Gracia dengan erat.

Beloved S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang