ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
ᅠᅠ
Tak lama, mereka sampai di depan sekolah Ara. Saat Ara hendak keluar dari mobil, Chika tiba-tiba menarik tangannya.
Ara mengerutkan dahi. "Apaan sih?" tanyanya, merasa terganggu.
Chika hanya diam, menatap mata Ara dengan tajam.
"Jangan ngeliatin terus! Gue udah mau telat nih," ucap Ara, sedikit tidak sabar.
"Kiss," ujar Chika pelan.
Ara langsung memasang wajah kesal. "Ih! Gak mau! Jijik!" balasnya tegas.
Tanpa peringatan, Chika menarik Ara lebih dekat, mencengkeram tengkuknya, dan mencium bibir Ara lalu melumat nya. Ara langsung meronta, berusaha melepaskan diri. Akhirnya, Chika pun melepaskan ciumannya dengan santai.
Ara cepat-cepat mengusap bibirnya dengan lengan baju, matanya menyala marah. "Kalau ada yang liat gimana bego?! Tolol banget sih lo!" bentaknya penuh emosi.
Chika tetap tenang, menatap Ara dengan wajah datar. "Apa lo bilang? Coba ulangin lagi," ucapnya dengan nada dingin.
Ara menggeleng cepat. "Gak!" ucapnya, lalu langsung keluar dari mobil tanpa menoleh lagi.
Ara berjalan cepat menuju gerbang sekolah, rasa marahnya masih bergejolak. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, namun ia berusaha menenangkan diri. Saat langkahnya semakin mendekati gerbang, suara deru mobil Chika terdengar meninggalkan tempat itu.
"Dasar gila," gumam Ara sambil mengepalkan tangannya. Ia tidak habis pikir kenapa Chika semakin hari semakin aneh, semakin posesif. Selalu saja ingin lebih, seakan tidak ada batas.
Ara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaannya. Ia tak ingin teman-temannya melihatnya dalam keadaan kacau seperti ini. Setibanya di depan kelas, senyuman kecil terpaksa ia paksakan ketika bertemu Zee dan yang lainnya.
"Woi, kenapa lu telat?" tanya Zee, memandang Ara dengan curiga. "Mukanya kusut banget lagi."
"Gak ada apa-apa," jawab Ara sambil tersenyum tipis. "Cuma macet tadi."
Zee masih memandangnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Yaudah, yok masuk. Pelajaran mau mulai."
Ara hanya mengangguk sambil melirik sekilas ke ponselnya. Ada beberapa pesan dari Chika, tapi ia memilih mengabaikannya untuk sekarang.
Ia tahu, cepat atau lambat ia harus menghadapi Chika lagi. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menjalani harinya tanpa perlu berurusan dengan segala drama itu.
"Ciee yang habis dicium," bisik Oniel dengan senyum nakal.
"Di bibir lagi," tambah Olla, suaranya pelan tapi jelas mengolok.
Ara langsung membulatkan matanya, terkejut. Ia memandang Olla dan Oniel bergantian, ekspresinya panik.
"Apaan sih lo? Ngaco!" Ara membela diri, meski suaranya terdengar agak gugup.
Oniel terkekeh pelan, lalu menyenggol bahu Olla. "Iya, ngaco banget. Tapi muka lo nggak bohong Ra," goda Oniel, sambil menatap Ara dengan tatapan penuh arti.
Ara merasa darahnya naik ke wajah, pipinya memanas. "Udahlah!" ucapnya kesal, berusaha mengalihkan perhatian. "Gue udah bilang enggak ada apa-apa."
Namun, senyum Olla dan Oniel tetap terpampang lebar, mereka sepertinya tidak akan mudah menyerah. Ara hanya bisa menghela napas panjang, menahan diri agar tidak terlihat semakin salah tingkah di depan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Older Cousin
Novela JuvenilCerita yang mengisahkan hubungan kompleks antara dua sepupu, Ara dan Chika. Dimulai dengan ikatan keluarga yang erat, hubungan mereka perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan rumit. Cerita ini mengeksplorasi emosi yang penuh intensit...