MOC 44

422 59 3
                                    

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

ᅠᅠ

Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Chika masuk dengan memegang piring. Ia menaruh piring itu di meja dan membangunkan Ara.

"Ara, bangun dulu yuk," ucap Chika sambil mengelus rambut Ara.

"Makan dulu," lanjutnya, mencoba membujuk.

"Gue gak laper," jawab Ara, suaranya serak dan matanya masih terpejam.

"Tapi harus tetap makan," balas Chika dengan tegas.

"Gue gak nafsu makan," ucap Ara, sedikit kesal.

"Dikit aja," pinta Chika, berusaha sabar.

Chika mengatur posisi Ara menjadi duduk, lalu mengambil piringnya dari meja.

"Ck! Udah dibilang gue gak mau makan!" Ara berteriak, suaranya nyaring.

"Ganggu orang tidur aja," keluh Ara, merasa terganggu.

Chika menatap tajam Ara. "Apa?!" seru Ara.

"Makan!" ucap Chika datar, tidak mengizinkan Ara untuk menolak.

Ara pun langsung mengambil piring yang ada di tangan Chika.

"Sana keluar!" ucap Ara ketus, berusaha mengusir Chika.

"Gak, gue mau di sini!" jawab Chika, bersikukuh.

"Sana!!" Ara berteriak, mendorong Chika dengan satu tangannya. Namun, sebelum Ara sempat mendorong lebih kuat, Chika sudah memegang kedua pergelangan tangannya.

"Lepasin!" Ara berusaha melepaskan diri.

Prangg!

Piring yang dipegang Ara jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Chika langsung melepaskan pegangan dan mengamati kerusakan yang terjadi.

"Jangan turun!" ucap Chika tegas saat melihat Ara menginjakkan kakinya ke lantai. Ara hanya mengangguk.

Chika pun keluar sebentar, mengambil alat untuk membersihkan pecahan piring yang berserakan.

"Maaf," ucap Ara pelan, merasa bersalah.

"Gapapa," jawab Chika lembut, berusaha menenangkan.

Setelah membersihkan pecahannya, Chika duduk di samping Ara.

"Tadi kena?" tanya Chika lembut, khawatir.

"Enggak," jawab Ara pelan sambil menggelengkan kepala.

"Jujur," perintah Chika dengan nada lembut namun tegas.

Ara terdiam, tidak menjawab.

"Dimana yang kena?" tanya Chika lagi, menatap penuh perhatian.

Ara pun menunjukkan telapak kakinya yang berdarah.

"Sebentar," ucap Chika cepat, khawatir.

Chika keluar lagi dan tak lama kemudian masuk kembali dengan membawa kotak P3K. Ia segera mengobati telapak kaki Ara.

"Sakit?" tanya Chika, sambil hati-hati membersihkan lukanya.

"Dikit," ucap Ara, suaranya pelan.

"Kalau kepalanya yang tadi kebentur masih sakit?" Chika melanjutkan, memastikan keadaan Ara.

"Enggak," jawab Ara, sedikit lebih percaya diri.

Setelah selesai mengobati kaki Ara, Chika menatapnya yang sedang menunduk.

My Older CousinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang