4. Let It All Burn

182 35 25
                                    

ACE POV

Aku terhuyung mundur dan jatuh lagi ke kursi, duduk dalam posisi tersungkur dan kalah, dengan kaki terentang di atas lantai. Aku hanya bisa menyaksikan wanita pirang itu dari tempatku duduk. Matanya yang indah mulai kehilangan sinar, kelopak matanya berkedip-kedip dengan cara yang lembut tapi mengerikan. Aku melihat dengan tidak berdaya saat wanita itu tersedak. Tubuh ramping itu berjuang untuk bertahan pada napas terakhirnya, dadanya yang berlumuran darah terengah-engah dengan putus asa.

Kemudian, jarinya perlahan-lahan terbuka dan jatuh lemas di atas sandaran kursi. Matanya yang mati memandang ke langit-langit, penuh dengan kehampaan. Darah menetes dari kursi dan membentuk genangan gelap di bawahnya. Mengalir tanpa kunjung berhenti.

Aku menghela napas penuh rasa sakit dan penyesalan. Kupejamkan mataku dalam helaan napas yang lembut.

Aku hanya merasakan rasa sakit ini ketika korbannya tak bersalah, kataku pada diriku sendiri. Dan aku merasa bahwa wanita itu tidak bersalah.

Ketika aku akhirnya membuka mataku kembali, Skeeter, yang sebelumnya membelakangiku, akhirnya membalik. Bibirnya yang merah sedikit terbuka. Ada kebingungan, bahkan mungkin penyesalan terlihat berputar-putar di matanya yang cokelat. Ia melihat ke arah tangannya yang memegang pisau penuh darah sebelum menjatuhkannya, seolah-olah itu adalah benda kotor yang perlu disingkirkannya.

"Tidak," ia membisik sambil menatap tangannya lagi, seolah bertanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa ia melakukan hal ini.

Aku juga bertanya. Bagaimana bisa ia melakukan hal ini? Aku paham bahwa Skeeter adalah pembunuh, tapi sebelum ini wanita itu selalu mengikuti aturan. Sebelum neraka mendadak membuka dan wanita itu pergi dengan meninggalkan deretan mayat gadis muda berambut pirang di belakangnya.

Sesuatu membuat wanita itu kehilangan akal sehat dan membunuh wanita-wanita pirang itu dengan darah dingin.

Apakah Skeeter melakukannya karena diriku? Akukah yang harus disalahkan oleh kegilaan ini?

Tidak. Wanita itu sudah gila sejak awal. Aku mungkin adalah orang yang mengajarinya untuk bertahan, tapi Skeeter sudah menjadi malaikat kematian bahkan sebelum kami bertemu. Saat aku jatuh cinta padanya.

Aku sepertinya terlalu naif berpikir bahwa aku akan mampu mengendalikan malaikat ini.

"Aku sudah melakukan kesalahan," suara Skeeter yang serak mengalihkan perhatianku. "W-wanita ini bukan yang kucari."

"Siapa, Skeeter?" aku bertanya. "Siapa yang kau cari?"

"Emilia. Emilia. Emilia," bibir itu membisik, menyebut nama itu layaknya sebuah mantera yang akan membuat semuanya menjadi masuk akal.

Skeeter melihat lagi ke tangannya. Satu tangan penuh darah, sebelum menatapku.

"Maafkan aku, Ace"—air mata mulai mengalir di pipinya—"A-aku membuat kesalahan."

Wanita itu jatuh berlutut di lantai beton dan membenamkan wajahnya di telapak tangan, menangis di antara jari-jarinya.

Aku segera menghampirinya dan menariknya ke dalam pelukanku, merangkulnya erat di dadaku. Aku mengayun-ayunkan tubuhnya, menekan bibirku ke puncak rambut hitamnya dan membiarkannya menangis. Tidak terlalu lama. Karena sekarang aku butuh jawaban lebih dari sebelumnya. Aku butuh tahu semuanya.

"Ceritakan padaku, my love," aku membisik, memeluknya erat dalam pelukanku. "Ceritakan padaku siapa Emilia. Apa yang sudah dilakukannya padamu? Aku bisa membantumu jika kau bercerita. Buat aku mengerti, Skeeter."

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang