7. Love Is Pain

196 34 42
                                    

EMILIA POV

🤍

Aku suka duduk di sini.

Di sudut ini.

Cara punggungku melekat pas di lekukan dinding. Panjang tulang belakangku berbaris sejajar sepanjang pertemuan antara satu dinding dengan yang lain.

Kadang, aku mencoba menempelkan punggungku ke dinding sehingga tulang belakangku menyentuh lapisan temboknya yang dingin, tetapi lengan dan bahuku selalu menghalangi. Selalu ada sesuatu yang menghalangi—belenggu yang mengikat pergelangan kaki kananku, terikat pada rantai yang membentang di sepanjang ruangan agar aku bisa bergerak. Dinding yang dicat gading itu tak memiliki satu jendela kecil pun. Dasar tangga beton yang ada di sisi ruangan yang paling jauh, setidaknya enam langkah di luar jangkauanku. Pintu di bagian atasnya yang selalu terkunci dari luar, jadi meskipun aku bisa melepaskan diri dari belenggu ini, aku takkan pernah melihat sisi lain dari pintu itu. Namun lebih dari segala hal yang menghalangi kebebasanku adalah ingatanku. Jawaban akan sebuah pertanyaan adalah kunci kebebasanku.

Kebebasan untuk merasakan sinar matahari di wajahku kapan pun aku mau. Kebebasan untuk duduk di bawah bintang-bintang dan menatap ke dalam keheningan yang tak terbatas. Atau, ketika aku mendengar hujan menghantam atap, aku ingin sekali memiliki kebebasan untuk keluar dan menari di bawah guyurannya, melompat-lompat di atas genangan air seperti yang biasa kulakukan saat aku masih kecil.

Meski demikian, kebetulan aku menyukai tempatku sekarang, terkurung dalam di ruangan tanpa sinar matahari, tanpa bintang, dan tanpa hujan, dengan hanya potongan memori untuk menemaninya.

Aku rasa ini adalah harga yang harus kubayar karena jatuh cinta pada Iblis.

Aku belum siap untuk kebebasan. Ace membutuhkan sesuatu dariku yang tidak bisa kuberikan. Tapi aku tetap mencoba. Hanya ketika aku bisa, dia akan mengembalikan kebebasanku. Dan hanya ketika aku bisa, aku akan menerimanya.

Ace menakutkan.... menakutiku kadang-kadang, tapi aku tahu pria itu tidak kejam. Setidaknya tidak padaku.

Pria itu layaknya sebuah teka-teki, dan aku tidak pernah bertemu pria lain sepertinya, setidaknya sepanjang yang bisa kuingat..

Aku mendengar pintu di atas tangga berderik membuka dan aku mengeratkan dekapan tanganku ke lutut dan menariknya ke dada. Aku mengenakan gaun putih katun tipis yang dibeli Ace untukku. Kainnya menutupi hingga mata kaki dan tidak membuatku terlihat telanjang. Ace tidak akan pernah membiarkanku terbuka. Pria itu baik padaku.

Well... Sebagian besar waktu.

Ace sepertinya tidak mengenakan sepatu. Aku tidak mendengar ketukan sepatu formalnya di atas beton saat ia menuruni tangga. Tapi aku bisa mendengar kain celananya bergesekan saat pria itu melangkah turun, dan aku melihat bayangannya terlempar di dinding. Semakin membesar semakin pria itu dekat ke dalam ruangan tempatku berada.

Jantungku mulai berdetak kencang di dalam rongga dadaku, memadukan hasrat dan ketakutan yang selalu kurasakan beriringan setiap pria itu datang kepadaku.

"Emilia," pria itu memanggil.

Suaranya dalam dan sensual, seperti air yang mengalir di atas spon, sangat menyerap. Lembut. "Bukankah aku sudah memintamu untuk tidak duduk di atas lantai?"

Pria itu melangkah keluar dari bayangannya dan masuk ke dalam cahaya lampu yang ada di ruanganku. Tinggi badannya menjulang di atasku, menciptakan bayangannya sendiri di ruang kecil yang kutempati. Aku selalu merasa dikendalikan oleh bayangan itu, seolah bayangan itu adalah makhluk lain yang mengawasi saat punggungnya berpaling.

"Maaf," kataku sambil menatapnya. "Aku suka duduk di sini."

Pria itu menawarkan tangannya padaku, dan dengan ragu-ragu, aku meraih dan mengambilnya.

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang