EMILIA POV
🤍
Aku berhenti bercerita.
Ace tak pernah memelukku seerat ini sebelumnya. Lengannya membungkus tubuhku begitu erat, sampai rasanya jika ia sedikit lebih kuat, aku mungkin tak bisa bernapas. Aku bisa merasakan bibirnya di puncak kepalaku, dan detak jantungnya yang berdetak kuat di punggungku.
Aku mengangkat kepalaku dari lengannya dan memiringkannya sedikit agar bisa melihatnya. Ada kelembaban di matanya. Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya, dan itu mengingatkanku pada semua yang pernah ia ceritakan tentang masa lalunya saat masih kecil. Sama seperti Skeeter, Ace juga mengalami trauma ketika masih kecil.
Aku mencium bagian atas buku-buku jarinya.
"Maaf jika ini membawa kenangan buruk untukmu," kataku. "Aku bisa berhenti."
Ace menggeleng dan mengusap matanya sebelum air matanya jatuh.
"Tidak," jawabnya pelan, "Jangan minta maaf padaku; ini tak ada hubungannya denganku. Please, lanjutkan ceritanya."
Aku kembali mencium buku-buku jarinya, lalu dengan enggan melanjutkan.
***
Kejadian seperti ini berulang terus menerus selama yang kuingat. Setiap beberapa minggu sekali, aku melihat Skeeter dengan tubuh lebam dan wajah kesakitan.
Aku pernah mencoba membantunya. Suatu malam, saat aku sedang duduk sendirian bersama ibuku di ruang makan, aku menceritakan apa yang terjadi.
"Tapi, mom," kataku, "ayahnya memukulnya dengan begitu parah, aku mendengar Skeeter menjerit hingga memberiku mimpi buruk."
Ibuku hanya menggeleng sambil menusukkan garpunya ke dalam sayur sebelum memasukkannya ke mulut.
"Jangan bicara yang tidak-tidak, Emilia," ibu berkata sambil mengunyah perlahan. "Dan jangan bicarakan tentang hal ini kepada siapapun, kau dengar? Aku ingin kau berhenti bermain dengannya . Ia membawa pengaruh buruk untukmu." Ia menunjuk ke arahku dengan garpu. "Ayahmu juga pasti akan marah jika sampai ia tahu. Kau tidak ingin membuatnya marah kan?"
Ia menyesap air di gelasnya sampai habis.
Aku mengangguk ragu. Meski aku tak mengerti mengapa ibuku—yang sangat penyayang dan lembut—tidak ingin membantu anak perempuan yang dipukuli ayahnya, aku tahu juga kalau ibuku pasti punya alasan kuat untuk melakukannya. Jadi, aku melakukan apa yang dikatakan ibu dan menutup mulutku rapat-rapat.
Selama tiga tahun aku membiarkan apa yang terjadi pada Skeeter terus terjadi. Hingga kami berdua menginjak usia tiga belas tahun.
Skeeter berulang tahun beberapa bulan lebih dulu dariku dan ia sudah menjadi gadis yang sangat berbeda dari anak kecil yang kutemui di atas rumput dengan boneka domba kecil itu. Ia masih menerima pukulan dari ayahnya, tapi kelihatannya ia sudah tidak lagi takut. Meski aku mendengar teriakan marah dan lecutan ayahnya di malam sebelumnya, ia tidak lagi gemetaran ketika bertemu denganku. Malahan, ia mulai berani datang ke rumahku tanpa melalui pagar belakang.
Suatu hari, ia berjalan keluar dari pintu depan rumahnya dan menyusuri trotoar menuju teras rumahku. Aku terkejut saat membukakan pintu dan melihatnya sudah berdiri di sana. Untuk sesaat, aku hanya menatapnya.
"Tidak mengundangku masuk?" ia bertanya dengan senyum sinis.
Pada saat itu, ia sudah tidak membawa boneka domba itu lagi. Aku bertanya suatu hari. Ia hanya berkata bahwa ia sudah bosan dengan boneka itu dan membuangnya. Aku menemukan sisa-sisanya di tumpukan abu di halaman belakang rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till I Die [TAMAT]
Детектив / ТриллерThriller|| Dewasa|| Sadis BLURB: Ace Maddox adalah seorang pembunuh. Itu adalah kenyataan. Dingin dan haus darah, ia tidak pernah mengira akan kemungkinan cinta, atau berpikir bahwa ada seorang wanita di luar sana yang bisa memahami atau menerima di...