Thriller|| Dewasa|| Sadis
BLURB:
Ace Maddox adalah seorang pembunuh. Itu adalah kenyataan. Dingin dan haus darah, ia tidak pernah mengira akan kemungkinan cinta, atau berpikir bahwa ada seorang wanita di luar sana yang bisa memahami atau menerima di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ACE POV
♠
Akhirnya, sepotong kenangan keluar dengan enggan dari bibirku yang kaku.
"Dua puluh tahun yang lalu..."
Aku berusia tujuh tahun ketika itu.
Debu berputar di depan mataku saat pintu berat menuju ruang kamar berderit terbuka. Cahaya redup dari lorong menyusup ke dalam ruangan dan jatuh ke lantai batu.
Lama tidak melihat cahaya, mataku terasa sakit. Secara insting, aku mengangkat tanganku yang kotor dan menggosok mataku, hanya untuk mendorong kotoran di belakang kelopak mataku dan membuatnya semakin pedih.
Aku meringis. Kututup mataku rapat-rapat. Air mata—yang muncul hanya karena iritasi—mengalir hangat dari sudut-sudut mataku.
Aku mendengar sepasang sepatu boots mengetuk lantai berbatu.
Sepatu boot milik Gavin. Tanpa membuka mata aku mengenali suara sepatu pria itu, sama seperti aku mengenali suara semua sepatu boots semua pria yang menjalankan tempat ini. Mengetahui hal itu bak sebuah keharusan bagiku, sama seperti aku tahu apa yang terjadi di sekelilingku sepanjang waktu.
Aku mengenal bau keringat penjaga yang mengawasi kamar ini dari subuh hingga tengah hari. Suara berdecit pemantik rokok penjaga yang menjaga kamar ini dari tengah hari hingga makan malam. Suara gesekan mantel panjang penjaga nomor tiga yang selalu terdengar seperti gemerisik kantong kresek ketika bergerak. Hal-hal penting untuk kuketahui karena aku akan melarikan diri dari tempat ini. Dan jika aku ingin berhasil, aku perlu menghafal setiap aspek dari lingkunganku.
Aku mendongak dari tepi ranjangku yang terbuat dari kawat tua dan pegas usang untuk melihat Gavin berdiri di atas tubuhku. Mataku masih terasa perih akibat kotoran yang aku gosokkan ke dalamnya. Anak-anak lain di ruangan itu juga duduk di ranjang mereka, sama sepertiku. Diam. Takut. Masing-masing mengira bahwa Gavin datang untuk menghukum mereka, tapi aku tahu Gavin bukan kemari untuk menghukum siapapun. Pria itu datang hanya untukku.
"Lekas," pria itu berkata sedikit anggukan ke belakang, "Aku akan membawamu ke tempat tinggalmu yang baru."
Ini adalah hari yang ditunggu-tunggu. Setelah enam bulan kurungan, Gavin percaya bahwa aku telah belajar dari kesalahanku dan tidak akan pernah mencoba melarikan diri lagi. Aku tertangkap tepat di luar tembok bata tinggi yang mengelilingi properti besar ini. Satu-satunya temanku, Eduard, ditembak di kepala tepat di sampingku, sebagai hukuman karena melarikan diri. Aku dibiarkan hidup, dan kematian Eduard menjadi peringatan terakhirku.
Gavin selalu baik padaku. Pria itu menunjukkannya dengan menyelamatkanku dari pria-pria kejam yang hendak memukuliku. Dan ia terus menunjukkan "kebaikannya" dengan kadang-kadang membiarkanku tidur di kamarnya. Pria itu memberiku kasur lipat di lantai, tapi kadang pria itu juga bersikeras agar aku tidur di ranjang bersamanya. Aku tidak ingin melakukannya, tapi akan sangat bodoh jika aku protes.