ACE POV
♠
Greta menoleh begitu aku melangkah masuk ke dapur. Wanita itu dengan sabar menunggu izin untuk berbicara.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" aku bertanya, berdiri di ambang pintu.
Sambil mengeringkan tangannya dengan handuk piring, Greta berkata, "Emilia terlihat gelisah, Mr. Maddox." Wanita itu meletakkan handuk piring di atas countertop granit hitam sebelum melanjutkan, "Maafkan saya jika saya berkata demikian, tapi mungkin lebih baik jika Tuan segera menemuinya ke bawah dan tidak menunggu hingga malam ini."
Aku mengangguk pelan. "Ya, aku tahu, tapi aku punya alasan." Alasan yang tidak merasa perlu ku jelaskan pada Greta. Wanita itu hanyalah pembantu. Bukan ibuku.
Aku melangkah mendekati wanita itu. Sepatuku berdetak perlahan di atas lantai ubin yang dingin, hitam dan mengkilap seperti kabinet dapur rumahku. Aku mengaitkan tanganku di depan dan bersandar ke pinggir counter. Jari-jariku saling terjalin longgar. Aku melihat tenggorokan Greta bergerak saat wanita itu menelan ludahnya dengan gugup. Matanya yang sudah berumur jatuh, menghindari tatapanku, memandang sesuatu, apapun selain aku.
Miringkan kepalaku sedikit ke satu sisi, aku berkata, "Kau masih takut padaku. Bahkan setelah aku mengatakan bahwa aku tidak akan menyakitimu. Kenapa?"
Greta dengan ragu-ragu mengangkat matanya ke arahku, tapi tak bisa mempertahankan kontak itu.
"Saya minta maaf, Tuan. Saya tahu bekerja di sini adalah pilihan saya sendiri, dan Tuan juga sudah menjelaskan semuanya dari awal, tapi..."—dia meremas-remas tangannya di bawah tulang panggulnya—"... pekerjaan ini bukan sesuatu yang biasa saya hadapi. Dan mungkin saya tidak akan pernah terbiasa."
Greta dulunya adalah pelayan pribadi seorang pria tua kaya raya bernama William. Aku sudah mengenal William cukup lama, dan sama sepertiku yang tak segan bermain kotor, William pun begitu. Pria itu sering menyewaku untuk membantunya mengendalikan orang lewat informasi. Jaringan bisnis William memang terlihat bersih di permukaan, tapi aku tahu persis apa yang terjadi di belakang layar. Spionase perusahaan, mengancam dan menyingkirkan pesaing, manipulasi saham, penggelapan uang, hingga memanfaatkan orang-orang kuat untuk melindungi kepentingannya.
Jujur, aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan William. Menurut jarum kompas moralku yang terpelintir, William bisa dibilang adalah pria yang cukup baik. Ia bukan pemerkosa dan pembunuh, ia menggunakan sebagian kekayaannya dengan mendirikan yayasan sosial dan panti asuhan, ia bahkan menyekolahkan anak-anak staf dan pelayannya hingga lulus kuliah.
Sayang, ketika William meninggal hampir setahun yang lalu, ahli warisnya menjual rumah besar William dan memecat semua staf, termasuk Greta.
Tanpa pekerjaan dan memiliki anak yang membutuhkan biaya perawatan di rumah sakit, Greta datang kepadaku mencari pekerjaan, tepat ketika aku baru saja pindah ke manor yang kini kutinggali dan membutuhkan seorang pelayan.
Meski aku tak punya jaminan wanita itu tidak akan melaporkan tindakanku ke kepolisian, entah kenapa, aku merasa bisa mempercayai Greta. Mungkin karena wanita itu sudah lama bekerja di bayang-bayang rahasia William, atau mungkin karena rasa takutnya padaku yang membuatnya menutup mulut, yang jelas untuk sekarang aku bisa mempercayai Greta.
Aku membuka genggaman tanganku dan membiarkan lenganku turun ke sisi tubuh.
"Jika kau ingin berhenti dari sini, aku paham, Greta," kataku sambil meluruskan kepalaku dari kemiringannya. "Aku hanya harap kau tidak menceritakan apa yang kau lihat selama bekerja di sini kepada siapapun."
Greta menggeleng pelan dan sejenak menundukkan pandangannya ke lantai.
"Tidak," katanya sebelum menatapku kembali dengan tangan yang masih terkatup di depan. "Saya suka bekerja di sini, Mr. Maddox. Lagi pula, saya peduli pada Emilia. Ia mengingatkanku pada putriku sendiri. Saya ingin memastikan ia dirawat dengan baik saat Tuan tidak ada di sini untuk menjaganya."
Aku mengangguk. "Baiklah. Terima kasih, Greta," jawabku, dan aku benar-benar tulus kali ini.
Bukan hanya aku tak ingin mencari pengganti Greta, tapi aku juga benar-benar tak ingin membunuh wanita itu. Yang pasti harus kulakukan jika wanita itu memilih untuk berhenti. Wanita itu adalah satu-satunya orang yang tahu tentang Emilia, dan aku tak bisa membiarkan Greta melaporkanku dan membuat burung kecil itu terbang jauh dari sarang.
Greta mendesah dan membuka tangannya, menaruhnya di atas meja. Rasa gugupnya kembali terlihat.
"Tapi dalam opini saya, Tuan," wanita itu berkata, dan aku sudah bersiap untuk mendengarnya, "Saya sungguh percaya bahwa Emilia tidak tahu di mana wanita yang Tuan cari berada. Saya cukup pandai dalam menilai karakter, Mr. Maddox, dan saat saya melihat gadis itu, saya melihat seseorang yang mengatakan kebenaran."Aku merapatkan tanganku di belakang punggung dan mulai melangkah bolak-balik di lantai.
"Mungkin," aku menggumam sambil menatap keluar jendela lebar yang menghadap ke halaman belakang, "tapi aku yakin pada waktunya ia akan punya lebih banyak hal untuk diceritakan padaku.""Tapi saya tidak mengerti, Tuan Maddox," Greta membalas dengan nada yang sedikit putus asa, "Jika ia mengklaim bahwa ia tidak mengenal wanita yang Tuan cari, bagaimana bisa ia bisa memberitahumu, baik nanti atau sekarang? Ia adalah gadis yang baik. Tidak mungkin ia berbohong."
Greta benar, wanita yang ada di basement rumahku adalah wanita yang baik. Meski aku harus menjaganya tetap dirantai agar tidak kabur atau mencoba membunuhku, tapi Emilia adalah wanita paling baik dan terhormat yang pernah kutemui. Dan aku sudah bertemu banyak wanita. Menghancurkan banyak wanita.
"Apakah semua yang Tuan lakukan kepada wanita itu sepadan dengan informasi yang Tuan cari?"
Aku langsung menatap Greta, menegurnya hanya dengan pandanganku.
Wanita itu berkedip gugup dan menundukkan pandangannya ke meja, menyentuh ujung jarinya di atas buku-buku jarinya yang lain. Wanita itu tahu lebih baik daripada mempertanyakan urusanku. Mungkin kekhawatiran wanita itu ada benarnya, tapi alasanku untuk melakukan apa yang kulakukan pada Emilia tidak perlu kusampaikan padanya.
Keheningan memenuhi ruangan.
"Kau bebas pergi malam ini jika kau mau, Greta," kataku dengan tajam, memberitahu wanita itu bahwa pembicaraan kita sudah selesai. "Aku akan ada di kota selama beberapa hari lagi."
"Terima kasih, Tuan, tapi bagaimana dengan makan malam?" Wanita itu melirik ke arah sayuran segar yang ada di saringan dalam bak cuci, dan panci di atas kompor; salah satunya telah mendidih selama beberapa menit.
"Biarkan saja," kataku. "Kau bisa bersih-bersih besok."
Wanita itu menundukkan kepalanya dan berjalan menghampiri kompor untuk mematikan apinya. Setelah itu, dia mengangkat saringan dari bak cuci dan menaruhnya di kulkas.
Saat mengambil tas kuningnya dari kursi dekat jendela dapur dan mengalungkannya di bahu, Greta berjalan mendekat dan meletakkan kunci perak di tanganku.
"Apakah Tuan ingin saya kembali pada waktu yang sama besok?" tanyanya.
"Ya, terima kasih," jawabku, menurunkan tanganku dengan kunci terkepal di telapak tangan dan menyembunyikannya di balik jari-jariku yang melengkung.
Greta menghilang di balik sudut, dan beberapa detik kemudian aku mendengar pintu depan tertutup di belakangnya.
Aku melepaskan sepatuku dan meletakkannya ke dalam rak yang ada di dekat pintu masuk. Setelah itu aku berbalik dan menatap pintu yang terpasang di dinding, yang mengarah ke ruang bawah tanah, tepat di sebelah tangga naik ke atas.
Aku membayangkan wajah Emilia—begitu lembut dan mirip boneka, dengan mata cokelat muda yang besar dan bibir sempurna yang penuh. Dan seperti biasa ketika memikirkannya, jantung hitam beku yang ada di balik tulang rusukku mulai berdetak perlahan dan penuh ancaman, mengkhianatiku dengan kejam hingga aku berharap bisa merobeknya dari dadaku dan bebas selamanya.
Beberapa saat kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu itu, memasukkan kunci yang diberikan Greta ke dalam lubang kunci, dan tanpa berpikir lebih jauh, aku menuruni tangga gelap menuju wanita itu.
Emilia.
Wanita yang jika kubiarkan hidup, pasti akan menjadi kematianku.
***
***
Note: Jangan lupa vote dan komen. Masukkan juga dalam daftar bacaan. Yang belum follow authornya, yuk difollow.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till I Die [TAMAT]
Mystery / ThrillerThriller|| Dewasa|| Sadis BLURB: Ace Maddox adalah seorang pembunuh. Itu adalah kenyataan. Dingin dan haus darah, ia tidak pernah mengira akan kemungkinan cinta, atau berpikir bahwa ada seorang wanita di luar sana yang bisa memahami atau menerima di...