13. The Demons

92 25 27
                                    

ACE POV

Mencuci tanganku sekali lagi di kamar mandi Emilia, pikiranku mulai melayang. Aku tenggelam dalam bayanganku sendiri saat aku mendongak dan menatap cermin yang retak.

Spencer sudah tidak lagi berteriak, tapi Emilia masih menangis, meski tidak sekeras sebelumnya. Tapi tangisannya, sekeras atau selembut apapun, tetap membuat hatiku tersayat dengan cara yang sama.

"Lihat aku, Emilia," kataku lembut pada wanita itu ketika aku kembali ke kamar.

Aku menunduk dan jongkok di depannya. Kujulurkan tanganku dan kuselipkan jari-jariku di bawah dagunya. Dengan hati-hati, kuangkat wajahnya dari lipatan kakinya.

"Aku tidak akan menyakitimu," aku berkata. "Kau tahu itu. Kau seharusnya sudah tahu itu sekarang."

Wanita itu menggelengkan kepala pirangnya sementara mata cokelatnya yang lembut menatap ke dalam mataku yang gelap.

"Kau pernah menyakitiku sebelumnya," katanya dalam bisikan, suaranya dipenuhi isakan. "K-ketika aku pertama di sini, k-kau pernah membawaku ke ruangan itu dan mengikatku di kursi itu. Siapa yang bisa mengatakan bahwa kau tidak akan melakukannya lagi?"

"Aku yang mengatakan bahwa hal itu takkan terjadi lagi."

Aku duduk sepenuhnya di lantai, dua lututku tertekuk naik sementara tanganku kubiarkan menggantung di atasnya.

"Aku tidak akan pernah menyakitimu, Emilia," aku berkata, sama seperti yang sudah kukatakan padanya berkali-kali sejak malam itu. "Situasi berbeda saat itu. Aku pikir kau...," aku menghentikan diriku sendiri. Aku harus berhati-hati saat berbicara padanya. Hati-hati dengan apa yang akan kukatakan. "Emilia, aku pikir kau berbohong dan tahu lebih banyak dari yang kau katakan padaku. Tapi sekarang aku tahu kebenarannya."

Hatiku meleleh sepenuhnya saat wanita itu merapatkan dirinya dan duduk diantara kedua pahaku.

Tubuhku secara naluri mengizinkannya masuk. Lenganku meraih tubuh mungil itu dan menariknya mendekat.

Jari-jari Emilia yang panjang dan lembut meraih satu lenganku dan wanita itu menekan kepalanya di celah hangat tempat bahu dan dadaku bertemu.

Mataku terpejam lembut dan napas kecil terlepas dari bibirku saat kurasakan tubuhnya menyatu dengan milikku. Aku menggenggam kepalanya dengan tangan besarku dan menikmati kelembutan rambutnya yang mendorong di antara jari-jariku, menyentuh leherku bak sebuah selimut halus yang terbuat dari sutra.

Hatiku berdetak kencang di dalam diriku, tanda pertama dari pengkhianatan yang tak terelakkan, di mana aku menjadi pria yang kubenci. Pria lemah dan tak berdaya di bawah belas kasihan perasaan yang sudah lama kupelajari untuk kutolak.

Fuck. Seharusnya Skeeter membiarkanku terbakar dalam api ketika itu. Tidak seharusnya wanita itu membiarkanku hidup sebelum meninggalkanku.

"Aku mendengarmu bernyanyi," aku membisik ke rambut Emilia. "The End Of The World milik Skeeter Davis. Kenapa kau bernyanyi, Emilia?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya.
"Entahlah. Maafkan aku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya."

Lenganku perlahan mengencang di sekelilingnya.
"Tidak apa-apa," aku berkata dengan suara rendah.

Setelah hening beberapa saat, aku bertanya dengan hati-hati, "Apakah kau ingat sesuatu?"

Emilia mengangkat kepalanya dari lenganku dan sedikit memutar badannya untuk menatap mataku.
"Ace," katanya selembut aku berbicara sebelumnya. "Boleh aku bicara dengan bebas? Bolehkah aku mengatakan apapun yang kurasakan?"

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang