17. Darkness Within

81 25 24
                                    

ACE POV

Musik mengalun keras dari saku celana dan dua orang lain yang ada di ruangan seketika menoleh ke arahku. Hacker muda yang bersikeras ikut denganku, Rohan, menatapku dengan alis terangkat, sementara Bobby, bekas guru yang dicurigai oleh client-ku sudah menculik putrinya, berhenti menggeliat di kursi.

Sejam yang lalu kami menemukan jejak Bobby dan mengikutinya hingga menuju ke motel kumuh ini. Kami tidak menemukan Marry bersama pria itu, yang menjadi alasan kenapa kini Bobby terikat di kursi. Karena aku hendak mengintrogasinya.

"Yang benar saja?" Rohan berkomentar dengan suara menahan tawa. "Itu nada deringmu?"

Sebuah gumpalan tersangkut di tenggorokanku. Karena itu bukan nada dering, tapi aku tidak bisa memberi tahu pemuda itu. Yang bisa kupikirkan sekarang hanyalah apa yang terjadi di Boston dan bagaimana bisa aku lupa mematikan ponselku sebelum memulai interogasi.

Rohan mencoba menahan tawa dan gagal total. Pria itu melirik sejenak ke saku celanaku dengan pandangan mata yang penuh humor.

"Aku tahu kau orang dengan selera unik, Ace," pria itu menggoda, "tapi aku tidak tahu kau suka lagu lawas."

Rohan tertawa terbahak-bahak saat lagu The End Of The World—dan suara Emilia yang merdu terdengar dari dalam saku, memberitahu semua orang tentang rahasia gelapku.

"Shit," aku mengumpat sambil mengusap keningku yang berkeringat dengan tanganku yang memegang belati.

"Apakah kau akan menjawab panggilannya?" Rohan melanjutkan. "Jawab saja, man. Siapa tahu itu penting. Mungkin pacarmu memberitahu bahwa ia hamil karena kau menolak memakai kondom."

Rohan kembali tertawa dan aku merasa benar-benar ingin menyiksa pria itu. Hanya untuk bersenang-senang.

"Apa yang terjadi?" Bobby yang terikat di kursi mulai meronta kembali. "Siapa kalian sebenarnya?!" pria itu menjerit. "Jawab aku!"

Aku mengabaikan Bobby, seperti yang kulakukan sejak aku mendobrak masuk ke dalam kamar hotelnya dan mengikatnya di kursi.

Mungkin sadar bahwa aku terlihat tegang, Rohan menurunkan senyumannya dan mengerutkan alisnya.

"Kau baik-baik saja, man?" pemuda itu bertanya. "Kau terlihat seperti melihat hantu."

Aku tidak menjawab. Aku bahkan tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan pemuda itu. Sebagaian besar kata-kata Rohan teredam di belakang kepala oleh suara nyanyian Emilia yang masih mengalun di saku celana.

"Aku akan kembali dalam beberapa menit," aku berkata sambil menyerahkan belatiku kepada Rohan.

"T-tunggu," Rohan menyela sebelum aku keluar. "Apa yang harus kukakukan dengan benda ini?"

"Tusuk saja ia di pahanya jika ia mencoba kabur," aku berkata sambil membuka pintu dan melangkah keluar.

Udara luar yang dingin berhembus. Lengan kemejaku masih tergulung hingga ke siku sejak bersiap untuk menginterogasi Bobby. Aku memasukkan tanganku yang gemetar ke dalam saku dan meraih ponselku. Tidak bisa mengeluarkan ponsel dari sakuku cukup cepat dan aku hampir saja menjatuhkannya. Menatap layar, aku mulai menonton live video CCTV bawah tanah yang pasti diaktifkan oleh Greta secara tidak sengaja dari iPadku.

Tiba-tiba, aku tidak lagi merasakan dingin, atau menyadari bahwa aku berdiri di luar dalam cuaca lima derajat celcius. Aku lupa bahwa aku berada lebih dari dua ribu mil jauhnya dari rumahku dan bahwa aku memiliki interogasi penting yang harus kulakukan untuk menyelamatkan seorang remaja muda dari penculiknya. Aku tidak peduli tentang apa pun saat ini kecuali apa yang aku lihat.

Ia pasti sudah mengingat sesuatu.

Dengan jantung di tenggorokanku, aku menonton layar kecil di telapak tanganku dan berkonsentrasi begitu keras sehingga aku tidak ingat untuk berkedip. Aku bahkan sepertinya tidak ingat untuk bernapas.

Emilia menari di tengah ruangan, menyanyikan lagu itu kata demi kata dan tepat pada nada. Aku menelan ludahku dengan keras dan menatap hingga mataku terasa pedih.

***

***

EMILIA POV

🤍

Aku berputar mengelilingi Greta, menyanyikan lirik dengan penuh perasaan seolah-olah aku yang menulisnya sendiri. Ketika lagu berakhir, aku meminta Greta untuk mengulang lagi lagu itu sekali lagi.

Semuanya terasa begitu alami, begitu... familiar, tapi aku terlalu bersenang-senang dengan Greta untuk khawatir tentang hal itu sekarang.

Dan Greta tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia juga menyukai lagu itu. Wanita itu dengan mudah mengimbangiku. Kami mulai bernyanyi bersama layaknya dua orang penyanyi kelas atas yang sedang berbagi sebuah panggung kecil... di sebuah lounge hotel bintang lima yang hanya menyajikan anggur terbaik, dikelilingi tamu hotel yang berpakaian elegan dan berkelas. Aku mengenakan gaun hitam ketat yang membalut tubuhku hingga betis... dengan sepatu hak tinggi hitam ... parfum... cerutu... suara es di dasar gelas wiski. Cermin tinggi yang melapisi dinding di kedua sisiku, bunga mawar dan lilin yang menyala di setiap meja, piano hitam mengkilap di panggung, dan di kiriku,... seorang wanita dengan rambut pendek hitam pekat dan mata cokelat...

Kenangan itu menghilang dari pikiranku saat suara Greta terdengar di atas musik.

"Suaramu indah sekali, dear!" wanita itu berkata saat lagu mencapai nada-nada terakhirnya.

Aku girang. Sangat girang. Begitu girang sehingga aku tidak bisa berhenti tersenyum dan wajahku terasa kaku karena tersenyum sejak tadi.

Saat lagu berakhir, masih dalam suasana hati yang tinggi, aku menunjuk perangkat di tangga dan berkata, "Foggy Mountain. Cari dengan judul itu, Greta!"

Greta menurutiku. Lagu kali ini memiliki tempo yang lebih cepat dan cocok untuk menari. Aku bertepuk tangan sambil menari berputar-putar mengelilingi Greta. Dan setelah aku menyanyikan lagu itu seolah-olah sudah melakukannya seratus kali, Greta menemukan setiap lagu lain yang aku minta untuk ia cari, hingga akhirnya kami kembali ke 'The End Of The World' oleh Skeeter Davis karena itu adalah lagu favoritku.

Aku menari dan bernyanyi sampai tenggorokanku kering dan aku terlalu kehabisan napas untuk menyanyikan nada lain.

Aku jatuh di tempat tidur besar dengan tangan terentang di sisiku seolah-olah aku sedang terbang, dan aku menatap langit-langit masih dengan senyum di wajahku sambil mencoba mengatur napas. Jantungku berdebar begitu cepat, aku bisa merasakannya memompa melalui setiap pembuluh darah hingga ke ujung jari tangan dan kakiku.

Hampir tidak ada yang bisa mengambil momen ini dariku. Tapi kenangan itu... kenangan bahwa aku pernah bernyanyi di atas panggung di hotel mewah dengan wanita berambut hitam itu, aku tidak bisa mengeluarkannya dari kepala. Dan semakin aku memikirkannya, semakin aku mulai melihat. Semakin aku melihat, semakin aku mengingat, dan semakin gelap pula cahaya di mataku.

Secara naluri, aku mengusap sudut mata saat air mata terbakar muncul ke permukaan.

"Emilia?" Greta berbicara lembut di sampingku. "Apakah kau baik-baik saja, dear?"

Kepalaku menoleh ke samping dan aku memaksakan senyum, mengusap wajahku lagi dari air mata yang berhasil lolos.

"Tidak, Greta, aku baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja." Aku menghela napas dan tersenyum sedikit lebih hangat padanya. Sambil bertanya-tanya, apakah Greta mempercayaiku, atau apakah wanita itu bisa melihat langsung melalui rasa sakit yang sekarang aku sembunyikan.

***

***

Note: Apakah Emilia mula ingat sesuatu? Hm... apa kira-kira yang dia ingat?


'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang