29. A Friend

65 18 46
                                    

ACE POV

Cafe yang kutuju sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah. Setelah mengisi bensin, aku langsung mengemudikan mobilku menuju cafe untuk menunggu sekaligus berpikir. Terutama berpikir.

Seberapa banyak yang akan kuceritakan pada Rohan tentang Emilia?

Aku tidak ingin menceritakan semuanya mengingat aku baru mengenal Rohan setahun terakhir. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya mendengarkan masalahku, aku bahkan sudah mulai menyesal membuat janji ini. Apa yang bisa dilakukan Rohan selain memberiku saran? Dan sejak kapan aku menjadi orang yang butuh saran?

Aku tak pernah berbagi apa pun dalam hidupku kecuali pada Skeeter, dan Josephina saat aku masih bocah di bawah kekuasaan pria-pria jahat. Tapi sekarang... sekarang aku putus asa, dan untuk saat ini tidak ada orang bisa aku anggap sebagai teman selain Rohan. Bocah 19 tahun yang memiliki misi menghancurkan kapitalis dunia. Shit.

Aku sepertinya butuh bergaul. Mencari teman yang lebih layak dan mungkin seumuran denganku. Sayang, apa yang kulalui ketika kecil membuatku tidak mudah untuk bisa menjalin ikatan dengan pria manapun. Aku tidak punya pilihan selain membagi beban di pundakku dengan Rohan.

Satu jam berlalu begitu lambat dan aku menghabiskan lima belas menit terakhir dengan menatap keluar jendela cafe dan mengamati jalan.

Gedung yang kudatangi ketika menculik Spencer masih berdiri tegak, tapi tempat itu kini sepertinya tidak lagi ditempati. Sejak menghilangnya Spencer, kepolisian menemukan keberanian untuk menyita aset milik keluarga Archibald, termasuk gedung itu. Aku mendongak ke atas dan bisa melihat langit abu-abu menggantung rendah, tertutup awan musim dingin yang siap menumpahkan salju kapan saja.

Mungkin setelah semua ini selesai, aku bisa pindah ke tempat yang lebih hangat. Hawaii atau Miami. L.A, bahkan. Atau aku bisa pindah keluar negeri. Kudengar Thailand atau Bali cocok untuk orang berkulit putih sepertiku menghabiskan masa pensiunnya. Shit. Aku mendadak merasa sangat tua meski belum genap berusia 30 tahun.

Aku melihat Rohan mendorong pintu cafe terbuka dan berjalan ke arahku sambil menggosok kedua tangan.

"Ya ampun, dingin sekali," ia berkata dengan suara menggigil sebelum melompat duduk di kursi yang ada di depanku.

Aku mendorong secangkir minuman hangat ke arahnya.

"Aku sudah memesankan kesukaanmu. Cappucino, extra busa," aku berkata.

"Aw, thanks, man. Kau benar-benar mengenalku." Pemuda itu tersenyum. Rambutnya yang hitam tertutup topi kupluk dari wool abu-abu sementara tangannya mengenakan sarung tangan rajutan yang berlubang di bagian jari-jarinya.

Matanya yang besar bersinar penuh terima kasih saat ia mengambil gelas dengan kedua tangan untuk menghangatkan diri. Rohan mencibirkan bibirnya, meniup uap yang keluar dari atas cangkir dan mengambil satu sesapan dengan hati-hati sebelum mendesis saat cairan itu membakar bibirnya.

"Ah, shit, panas" Rohan mengumpat sebelum meletakkan kembali cangkirnya ke atas meja dan meletakkan ranselnya ke kursi samping. "Jadi, mengapa kau mencariku?"

Aku terdiam agak lama, menurunkan tanganku ke bawah dan meletakkannya di pangkuan. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, Rohan buru-buru menyela, "Sebelum kau mengatakan apapun, aku ingin kau tahu bahwa aku mengirimkan live location-ku kepada adikku dan memberitahunya untuk menghubungi polisi jika aku tiba-tiba menghilang dan tidak menjemputnya dari sekolah hari ini."

"What?" Aku menyeringai ke arahnya, lalu tertawa, "Apakah kau pikir aku berencana membunuhmu?"

Rohan tertawa gugup dan mengedikkan bahunya.

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang