10. Hunting Ground

132 28 29
                                    

ACE POV

Aku mundur dan menjauh, bertekad untuk mengakhiri ini semua sebelum aku terjerat terlalu jauh.

Aku tidak bisa membiarkan wanita itu melakukan ini lagi. Tidak lagi. Aku tak akan membiarkan diriku terjebak. Emilia tidak akan pernah memahamiku.Emilia bukan Skeeter. Skeeter adalah yang penting bagiku, dan aku tak akan berhenti sampai menemukannya. Skeeter adalah istriku, satu-satunya wanita yang menerimaku apa adanya. Satu-satunya yang begitu mirip denganku hingga seolah takdir adalah yang mempertemukan kami.

Aku bebas menjadi diriku sendiri ketika bersama dengan Skeeter karena kami berdua sama. Pembunuh. Monster. Ketika bersama Skeeter, aku tidak perlu menahan diri atau bersembunyi di balik topeng yang harus kukenakan ketika aku berhadapan dengan orang lain. Skeeter adalah kegelapan tempatku bernaung. Dan aku membutuhkannya kembali. Kami sama-sama punya urusan yang belum selesai.

"Ace...," Emilia memanggil, dan aku mengangkat pandanganku menatapnya.

Matanya begitu polos, begitu murni, begitu... rentan.

Betapa aku ingin memilikinya.

Sekarang.

Aku ingin menekan tubuh mungilnya yang lembut ke dinding dan melahapnya dengan penuh rasa lapar. Aku ingin menandainya dengan belatiku dan menjilat darah yang keluar dari lukanya, seperti yang kulakukan pada Skeeter.

Aku memaksa keinginan itu pergi dan mengeraskan rahangku. Karena aku tak bisa. Aku tak bisa melakukan itu pada Emilia. Aku tak akan melakukan itu padanya. Sekali lagi kuingatkan diriku, Emilia bukanlah Skeeter.

Aku memaksakan diriku untuk pergi.

"Ace... tunggu... jangan pergi. Ace!" wanita itu memanggilku.

Aku mendengar rantai yang terikat di pergelangan kakinya menghantam lantai saat ia mencoba mengejarku, tapi berhenti saat aku keluar dari jangkauan.

Aku sudah hampir mencapai tangga ketika aku mendengarnya menangis. Aku benci mendengarnya menangis. Sialan... aku benci mendengarnya menangis!

Perlahan, aku berbalik menghadapnya.

Wanita itu memandangku dengan mata cokelat terang yang telah kupuja... yang telah membuatku menjadi korban.

"Aku akan kembali dalam empat jam, Emilia," kataku dengan datar, bahkan dingin. "Dan kau akan menyaksikannya."

Aku membalik dan menaiki tangga, meninggalkannya berdiri di sana, tenggelam dalam air matanya sendiri.

Aku naik ke atas dan meraih ponselku. Kuketikkan sebuah pesan singkat pada Rohan agar menemuiku di cafe. Begitu balasan masuk, aku mengenakan kembali sepatuku dan menyambar jaketku.

Aku harus membunuh malam ini. Hanya agar aku bisa membersihkan perasaan yang mengancam dari hatiku yang gelap ini.

Aku perlu berburu malam ini.

***

Aku menenggak kopi yang ada di depanku sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling cafe yang lengang. Tidak banyak orang duduk di dalamnya. Selain meja kami, hanya ada sepasang orang lain di meja dekat kasir.

Rohan, pemuda 19 tahun yang sudah kukenal hampir dua tahun terakhir, menyuapkan potongan terakhir sandwichnya sambil menatap layar laptop di depannya. Pria itu lebih pendek dariku dan kurus. Jika tinggiku 190cm, maka Rohan mungkin 175cm. Dengan rambut gelap yang selalu terlihat acak-acakan dan kaca mata tebal, Rohan terlihat seperti remaja kutu buku kebanyakan, kecuali kenyataan bahwa pemuda itu pernah mengunci data nasional selama 24 jam hanya untuk membuktikan bahwa ia bisa.

'Till I Die [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang